Rabu, 06 April 2022

Gyarados: Transformasi Absurd



Pernah mendengar nama ini? Mungkin sebagian besar tidak pernah mendengarnya, kecuali para penggemar anime atau game Pokemon. Gyarados adalah nama karakter evolusi dari pokemon yang sangat lemah yaitu Magikarp, pokemon yang terinspirasi dari ikan mas asia yang mampu melompat cukup tinggi.

Evolusi Magikarp menjadi Gyarados adalah sebuah hal yang absurd, karena dari salah satu pokemon yang terlemah bisa menjadi pokemon terkuat.

Konon katanya, energi yang diperoleh dari proses evolusi menstimulasi sel-sel otaknya (Magikarp) dengan kuat, menyebabkan Pokémon ini berubah menjadi sangat ganas.

Evolusi Magikarp menjadi Gyarados terinspirasi oleh legenda Cina Kuno yang menyatakan bahwa jika seekor ikan mas mampu melompat melewati Gerbang Naga mitos maka ikan tersebut akan berubah menjadi naga.


Menurut cerita fiksinya, Gyarados adalah salah satu pokemon yang terkuat dan mampu menghancurkan satu desa. Tentu sangat membingungkan bagaimana mungkin pokemon yang sangat lemah dapat berevolusi sedemikian rupa dan tentunya ini sangat tidak masuk akal.  

Namun, melalui cerita fiksi seperti ini, saya mendapati satu hal bahwa manusia mempunyai semacam ide bawaan seperti ini. Gagasan-gagasan ideal adanya perubahan yang memang tak masuk akal bagi sebagian orang, yang kerap kita lakukan dan mungkin menjadi kenangan masa kecil yang indah ketika kita ingin berubah menjadi power ranger dan ksatria baja hitam, atau tokoh fiksi yang lainnya.  

Namun, sekalipun tidak masuk akal, gagasan seperti ini bukanlah gagasan yang tidak mungkin terjadi. Dua ribu tahun yang lalu, ada seseorang yang mampu membuat orang lain mampu berubah seperti ini. Orang tersebut ialah Yesus, yang disebut Mesias. Pandangan orang Israel pada masa itu, sosok Mesias adalah seseorang yang mampu membawa pembebasan dari penjajahan maupun membentuk pemerintahan yang adil, layaknya Raja Daud terdahulu. 

Nyatanya, Mesias yang mereka temukan tidak seperti yang mereka harapkan. Dia adalah Raja yang menderita. Ia memang membebaskan, tapi bukan membebaskan bangsa itu dari penjajahan Romawi melainkan dari perbudakan dosa yang merupakan masalah laten manusia. Kematiannya menjadi bukti bahwa hukuman dosa manusia ditimpakan pada-Nya dan kebangkitan-Nya menjadi bukti bahwa maut telah dikalahkan dan manusia mempunyai pengharapan melalui Dia yang telah merasakan bahkan lebih lagi merasakan penderitaan yang kita rasakan (bdk. Yes. 53:5, Ibr. 4:14-15).

Keyakinan yang sungguh yang dibuktikan melalui iman kita kepada-Nya itulah yang memberikan perubahan yang nampaknya juga tidak masuk akal. Setidaknya itulah yang dirasakan para murid-Nya dan rasul yang lain. Setelah kematian-Nya, nampaknya para murid tidak bergeming seolah tidak mempunyai landasan untuk berharap, tetapi setelah kebangkitan dan peristiwa turunnya Roh Kudus mereka menjadi manusia yang baru. Roh Kudus memberi mereka keberanian untuk merekan mengabarkan Injil. Nelayan, pemungut cukai, keturunan kaum pemberontak (Simon orang Zelot), si skeptis, dan pembunuh besar (Paulus) menjadi tokoh yang bahkan berani mati untuk pemberitaan tentang satu orang yang adalah Juruselamat.

Bukan hanya mereka, kita juga (dapat) mengalaminya. Saya juga akan membagikan apa yang saya alami. Hal yang sama saya rasakan 8 tahun lalu, di tengah pergumulan mempertanyakan kebenaran dan eksistensi Allah selama 1,5 tahun. Saya memberanikan diri membaca Alkitab, saya begitu terkoreksi bahwa saya adalah manusia yang tidak benar. Saya begitu sombong ketika meragukan akan adanya Tuhan, dan justru berkata bahwa Tuhan adalah produk dari pikiran manusia. Saya berpikir kehidupan yang saya jalani bisa saya kendalikan sendiri, nyatanya sekeras apapun saya tetap tidak bisa mengendalikan diri saya.

Bergulat dalam pikiran ini membuat saya begitu kacau. Singkat cerita,  dalam keheningan saya merenung dan mendapati begitu jahatnya saya dan kehidupan yang saya jalani. Hati saya terdorong untuk berdoa mengakui dosa dalam hening kamar kost. Ketika semua usai ada sebuah kebahagiaan yang tak dapat tergambarkan, sulit menjelaskan tapi begitu bahagia dirasakan, lebih dari perasaan ketika pertama kali jatuh cinta pada seorang perempuan dan tentunya hati saya berkobar. Bahkan dalam masa sulit yang kami alami (ketika adik saya meninggal), saya mendapatkan suatu penghiburan yang tidak pernah berhenti, kekuatan untuk menjalani hidup bahkan pengharapan di tengah badai, yang mungkin tak masuk akal bagi sebagian orang.

Perubahan yang tak masuk akal ini sudah dan saya yakin akan terus saya alami. Bagaimana dengan cerita kita masing-masing?

Sumber Gambar: https://id.portal-pokemon.com/play/pokedex/130_1 dan https://bulbapedia.bulbagarden.net/wiki/Magikarp_(Pok%C3%A9mon)

Minggu, 29 Desember 2019

Bahagia Orang yang Dibenarkan




"Baik belum tentu benar, tetapi benar sudah pasti baik", begitulah frasa yang sering kita dengar. Tentu kita dapat mengartikan kata-kata tersebut bahwa " benar" sudah pasti meliputi banyak hal dalamnya salah satunya kebaikan.

Tetapi apakah yang menjadi pokok penting dari sebuah kebenaran?
Sepanjang zaman banyak sekali yang menafsirkan hal ini, dan akhirnya timbul berbagai macam jawaban. 

Ada yang menjawab jika sesuatu tidak logis (tidak bisa diterima akal, maka tidak benar), ada pula yang menjawab kebenaran itu sesuai fakta, jika sesuatu itu ada, maka benar adanya, tetapi jika sesuatu tidak ada, maka benar pula tidak adanya.

Pasca modern, yaitu masa post modern, kebenaran menjadi sebuah hal yang rancu karena kebenaran bergantung pada individu manusia itu sendiri, hal ini lumrah kita dengar dengan sebutan "kebenaran itu relatif".

Menjadi sebuah ironi ketika individu-individu yang mempunyai sebuah standar kebenaran sendiri itu mengikat diri pada sebuah sistem baku yang mempunyai standar kebenaran sendiri pula, yaitu agama. Ragam agama khususnya samawi menyebut kebenaran itu bersumber pada Sang Ilahi yang tidak kelihatan dan yang sering dipertanyakan eksistensinya.

Berbagai agama sepakat bahwa manusia mempunyai masalah dalam menafsirkan kebenaran (walaupun manusia punya sifat-sifat dan karakter Ilahi). Satu masalah laten yang menyebabkan manusia gagal adalah dosa. Dosa bukan hanya menjadikan manusia gagal menafsirkan kebenaran, bahkan lebih lagi menjadikan manusia itu sendiri tidak benar.

Kesadaran bahwa manusia tidak benar karena melakukan dosa, membuat manusia berupaya membangun sebuah sistem untuk mencapai realita kebenaran (Allah) yang dipercayainya melalui agama. Maka tak heran dalam ritus" ibadah tiap-tiap agama selalu terselip doa untuk memohon ampun pada yang Tak Kelihatan, yang menjadi sumber kebenaran itu.

Terlalu banyak sistem (agama) yang dibangun justru membuat manusia menjadi bingung sendiri, dan mulai mempertanyakan kembali iman mana yang benar.
Berbagai pencarian dilalui, dan muncul beberapa pribadi yang diyakini menjadi pendiri dan penerima wahyu Tuhan untuk mendirikan sebuah jalan benar menuju Tuhan itu sendiri.

Menariknya dari beberapa pribadi tersebut, ada satu sosok frontal, menjadi banyak perbincangan bahkan melintasi tiap zaman yaitu Yesus Kristus. Ia menjadi sosok yang diyakini sebagai Inkarnasi Allah itu sendiri, yang berkuasa bahkan untuk mengampuni dosa oleh semua orang Kristen di dunia ini.

Dalam kekristenan, timbul suatu konsep kebenaran bahwa Allah pada mulanya menciptakan semesta, bumi dan segala isinya sesuai dengan rencana indah-Nya. Tapi rencana itu rusak ketika manusia melakukan dosa. Tapi Allah tidaklah Allah yang diam dan memaklumi, justru Ia mengusahakan kembali supaya rencana-Nya terealisasi dengan baik.  

Dengan kesadaran bahwa manusia tidak benar dan tidak akan mampu menjadi benar kecuali mengalami pembenaran oleh Allah itu sendiri, sepanjang zaman nabi-nabi di masa lampau, Ia menjanjikan akan datang penyelamat.

Allah yang kekal itu dalam hening dan diam mengutus Anak-Nya masuk dalam realitas ruang dan waktu, mengambil rupa seorang hamba, bahkan taat sampai mati oleh karena pengorbanan menjadi satu-satunya jalan pembenaran manusia itu sendiri. Ia melakukan semua karena Ia tak dapat membohongi diriNya yang penuh setia dan kasih. 

Ia lah Kristus, manusia ilahi yang benar itu, yang tak berdosa. Dalam kebenaran dan kesucianNya, Ia rela menjadi berdosa demi membenarkan manusia dalam keberdosaannya. Kejijikan-Nya akan dosa tak mampu membendung kasih dan pengampunan-Nya bagi manusia yang mau percaya dan mengakui ketidakbenarannya. Ia yang begitu mulia dibungkus dalam kain lampin di palungan. Ia yang begitu kaya, rela melayani, menjadi miskin bagi orang-orang yang dikasihiNya. Ia kebenaran itu sendiri dan setiap orang yang percaya kepada-Nya, dibenarkan-Nya dalam keberdosaan (Rom. 5:8).

Begitu banyak kesaksian mengenai indahnya menjadi orang yang dibenarkan, tapi saya begitu tertarik dengan kisah Daud dalam Mazmur 32:1-11. Dalam nas tersebut kita bisa merasakan emosi Daud yang begitu berbahagia karena Allah sangat kasih kepadanya. Ia berbahagia ketika dosanya diampuni. 

Daud yang sudah menjadi patah semangat bahkan seakan tulang-tulangnya menjadi kering. Mungkin sampai pada tahap mempertanyakan Tuhan dan kasih setia-Nya (bdk. Maz. 77:8-10). Tapi Daud memberanikan diri mengakui dosa dan Allah tetap berbelas kasih. Pengakuan akan ketidakbenarannya dihadapan Allah membuat jiwanya merasakan suatu hal yang berbeda. Ia sangat bersukacita, ada suatu kebahagiaan yang tak terlukiskan oleh karena pengampunan dari Allah. 

Tentunya kebahagiaan yang Daud rasakan itu bukan kebahagiaan semu, tapi menjadi suatu keyakinan bahwa imannya kepada Allah menjadi iman yang benar. Lebih dari itu, pengampunan dosa yang diterima bukan hanya menjadikan ia dapat menafsirkan kebenaran dengan benar tetapi juga ia mengalami pembenaran dan menjadi manusia benar oleh karenanya.

Hal yang sama saya rasakan 8 tahun lalu, di tengah pergumulan mempertanyakan kebenaran dan eksistensi Allah selama 1,5 tahun. Saya memberanikan diri membaca Alkitab, saya begitu terkoreksi bahwa saya adalah manusia yang tidak benar. Saya begitu sombong ketika meragukan akan adanya Tuhan, dan justru berkata bahwa Tuhan adalah produk dari pikiran manusia. Saya berpikir kehidupan yang saya jalani bisa saya kendalikan sendiri, nyatanya sekeras apapun saya tetap tidak bisa mengendalikan diri saya.
 
Bergulat dalam pikiran ini membuat saya begitu kacau. Singkat cerita,  dalam keheningan saya merenung dan mendapati begitu jahatnya saya dan kehidupan yang saya jalani. Hati saya terdorong untuk berdoa mengakui dosa dalam hening kamar kost. Ketika semua usai ada sebuah kebahagiaan yang tak dapat tergambarkan, sulit menjelaskan tapi begitu bahagia dirasakan, lebih dari perasaan ketika pertama kali jatuh cinta pada seorang perempuan. 

Pengampunan dosa yang saya rasakan lebih dari sekedar menjadikan kita dapat menafsirkan kebenaran secara benar tapi menjadikan kita benar oleh karena kebenaran pengampunan dosa oleh Kristus. Lebih lagi kebahagiaan itu rasakan ketika menyadari bahwa Kristus yang menderita itu merasakan apa yang kita rasakan dan berjanji menyertai kita sepanjang hidup kita. 

Mungkin kita sudah pernah merasakannya, atau saat ini sedang merasakan bagaimana sangat tertekan karena dosa kita. Datanglah pada Allah, Ia akan mendengar doa kita dan mengampuni kita seperti janji-Nya:   "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." {1 Yohanes 1:9 (TB)}
Ini adalah janji yang manis untuk kita. Itulah kebahagiaan orang yang dibenarkan, ketika Kristus, Allah menjadi berdosa supaya dosa kita diampuni oleh Bapa.

*Jesus, thou joy of loving hearts, Thou fount of life, thou Light of men, From the best bliss that earth imparts We turn unfilled to Thee again. We taste Thee, O Thou living Bread, And long to feast upon Thee still: We drink of Thee, the Fountainhead, And thirst our souls from Thee to fill. O Jesus, ever with us stay, Make all our moments calm and bright; Chase the dark night of sin away, Shed o'er the world Thy holy light.*
(St. Bernard from Clairvaux)

Minggu, 14 Juli 2019

Berdiam dan Meyakini Kehendak Allah (Refleksi Matius 26:36-46)

Nas ini merupakan suatu rangkaian peristiwa malam terakhir sebelum Yesus disalibkan. Taman Getsemani itu menjadi saksi bisu akan kesedihan, ketakutan, penyerahan diri dalam diam, keheningan dan kegamangan  yang dialami oleh seorang pribadi perombak sejarah semesta ini. Sekaligus menjadi suatu tanda pengingat tetap bagi orang yang percaya pada-Nya untuk merenungkan makna akan apa yang dilakukan-Nya pasca peristiwa tersebut. Peristiwa yang bukan hanya mengguncang dunia dan menjadi perdebatan hingga hari ini, tapi lebih jauh daripada itu, yaitu peristiwa yang dapat merubah hati dan pikiran manusia yang mempercayai Pribadi tersebut.

Nas ini dimulai dengan kata-kata “maka sampailah…” yang berarti bahwa Ia (Yesus) berjalan dari suatu tempat dan menuju Getsemani (Lukas menyebutkan dalam bahwa Ia berjalan seperti biasanya---Luk. 22:39), tetapi ketiga Injil sinoptik menuliskan bahwa kejadian itu ditulis setelah perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya. Untuk Getsemani sendiri, tiada informasi jelas mengenai letak taman ini, tetapi yang pasti berada di sekitaran Bukit Zaitun (ay.30). Sesampainya, Yesus menyuruh sebagian besar murid-Nya untuk duduk dan Ia pergi untuk berdoa. Lukas mencatat bahwa pergi ke Bukit Zaitun adalah sebuah kebiasaan bagi Yesus yang artinya murid-murid-Nya pun tentu tak heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.

Menjadi sebuah keunikan bahwa Yesus memilih tiga orang murid untuk menemani-Nya ke tempat Ia berdoa. Ia sempat menceritakan kepada Petrus bahwa hati-Nya sangat sedih dan seperti mau mati rasanya. Tentu hal ini membuat sedikit banyak goncangan dalam hati dan pikiran ketiga murid tersebut, karena semenjak perjamuan malam, Yesus Sang Mesias yang diharapkan untuk membebaskan umat Israel terus saja berbicara tentang kematian dan kematian dan mungkin dalam hati, mereka terus bertanya apa yang akan terjadi setelahnya.

Dalam kegentaran dan kesedihan yang dialami-Nya,  Yesus meminta mereka untuk berjaga selagi Ia berdoa. Ia menunjukkan suatu hal yang indah dalam suasana hening yang mencekam, Ia yang adalah insan dan Ilahi mengambil suatu waktu khusus untuk berdiam, mencurahkan seluru isi hati-Nya pada Bapa. Dalam kegentaran, kerumitan, ketakutan, kesedihan yang dialami, Ia memilih berdiam, mendengar Bapa berbicara dan menyatakan kehendak-Nya (Bapa). Kesedihan dan kegentaran-Nya menjadi suatu bukti bagi kita bahwa Ia adalah Allah yang dekat,  yang turut merasakan ketakutan dan kegentaran yang sama sepeti yang kita alami, bahkan lebih daripada yang kita rasakan.

Satu hal kemudian, juga dalam keheningan, Ia meminta murid-Nya “berjaga”. Saya tidak tahu pasti apa yang menjadi tujuan Yesus meminta murid-Nya berjaga entah mencegah datangnya gangguan, saya tidak tahu persis. Tapi saya mendapat suatu perenungan pribadi bahwa jauh daripada itu Yesus meminta murid-murid (bahkan kita) agar kita tak hilang fokus atau luput daripada Tuhan dengan kata lain, jiwa kita terpaut dan bergantung hanya pada Dia, Allah Bapa kita di tengah segala realita yang memungkinkan kita untuk berbelok menjauh dari koridor Tuhan.

Satu hal yang menarik kemudian, dalam doa-Nya, Yesus berbicara: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Ku-kehendaki melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Dalam hening , Ia berdoa dan memohon dengan gentar “sekiranya mungkin…” suatu kata yang menunjukkan betapa ketakutan itu sangat kuat menekan diri Yesus, bahkan Lukas menyebutkan peluh-Nya seperti titik-titik darah, bahkan malaikat datang untuk memberi kekuatan kepada-Nya (Luk. 22:43-44), artinya ini bukan hal yang main-main, di dalam kata tersebut menunjukkan betapa mau tidak mau ada suatu harapan yang tidak dapat dicapai, suatu permohonan yang tidak terkabulkan. Permohonan akan lepas dari suatu ketakutan, penderitaan yang hebat dimana Ia mengalami keterpisahan total dengan Bapa ketika dosa-dosa manusia ditimpakan kepada-Nya, dimana Ia menjadi kutuk atas suatu kesalahan yang tidak pernah dibuat-Nya (Gal. 3:13), juga dimana Bapa menyembunyikan wajah-Nya dan meninggalkan-Nya (bdk. Mat. 27:46).

Cawan itu juga sekaligus membuka mata kita bahwa keterpisahan dari Allah menjadi suatu hal yang sangat mengerikan, yang membuat jiwa kita tersiksa, membuat kita seharusnya menyadari dan turut bersedih karena kita telah sangat jauh meninggalkan Allah karena dosa kita. Cawan itu juga yang menjadi salah satu dasar kita berharap bahwa Yesus mengalami sama bahkan lebih daripada yang kita alami sebagai manusia.

Selanjutnya kita melihat bahwa Ia berkata: “janganlah seperti yang Ku-kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” . Dalam kata ini setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pelajaran buat saya pribadi (mungkin bagi kita juga):

1)     Penerimaan
Yesus di dalam kegentaran dan kesedihannya dengan rendah hati menerima apa yang akan terjadi kedepan. Sekalipun menakutkan dan dapat dibayangkan betapa menderita-Nya, Ia menerima apapun yang terjadi. Ia menerima dalam suatu keyakinan penuh bahwa kehendak Bapa adalah yang terutam dan yang terbaik.

2)     Penyerahan Diri
“Jadilah kehendak-Mu…” menjadi kata umum yang dipakai khususnya orang Kristen dalam doa-doa yang dilantunkan setiap hari. Terlepas dari terdistorsinya makna kata ini karena sering digunakan (mungkin), kata ini juga menjadi suatu isyarat akan penyerahan diri dalam kehendak Allah, yanga berarti totalitas hidup kita bergantung pada Allah. Bukan berarti tidak bekerja dan tidak melakukan apa-apa, justru sebaliknya membuat kita bekerja bahkan melakukan apapun dengan giat karena ada suatu pengharapan akan janji penyertaan Allah yang memungkinkan kita menjalani hari tanpa kekuatiran akan masa kedepan.
   
3)     Pengharapan
“Jadilah kehendak-Mu…” juga menjadi suatu proklamasi iman. Bahwa apapun yang terjadi dalam hidup, kita dengan rendah hati menerimanya. Sekalipun sulit yang kita terima, tidak membuat kita lantas menyalahkan Tuhan dan sekalipun senang yang kita dapat, juga tak membuat kita lantas menjadi tinggi hati, karena itu adalah kemurahan hati Allah. Proklamasi itu menghantarkan kita pada suatu harapan dan keyakinan bahwa Ia menjaga apapun yang kita taruhkan hingga hari-Nya kelak

Sekali lagi, ungkapan “Jadilah kehendak-Mu…” ini menjadi ungkapan penerimaan, penyerahan diri, dan pengharapan Yesus dalam doa-Nya, bahwa sekalipun cawan itu ditimpakan, hal itu adalah kenyataan yang harus Ia terima dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Sekalipun takut, sedih, gentar, Ia menerima dengan penyerahan diri pada Bapa dalam kehendak-Nya, karena ia yakin bahwa misi-Nya bukan menjadi suatu misi yang sia-sia, karena banya orang yang dimenangkan oleh pemberitaan salib Kristus.

Dan menjadi suatu perhatian bagi kita, bahwa peristiwa ini bukan isapan jempol belaka, bukan peristiwa tanpa makna, karena kita dapat melihat bukti sampai tiga kali Ia berdoa mengucapkan hal yang sama. Peristiwa ini menjadi suatu peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia, bahwa Sang Agung harus mengalam kegentaran dan kesedihan, juga menjadi teladan dalam penerimaan atas realita yang akan terjadi karena keyakinan bahwa kehendak Bapa adalah yang terbaik. Peristiwa yang tidak hanya merubah arah sejarah sekaligus mengubah hati manusia sebagai pelaku sejarah yang percaya akan kematian dan kebangkitan-Nya.

Lantas, apa yang bisa saya lakukan terkait refleksi ini?

1)     Mengambil waktu khusus untuk berdiam
Dalam zaman yang super sibuk ini, mau tidak mau, energi kita akan terkuras banyak dan membuat kita dengan mudah menjadi hilang fokus akan tugas kita sebagai orang percaya. Sama seperti Yesus, mari ambil suatu waktu khusus untuk kita berdiam, berdoa, berbincang dan mencurahkan seluruh isi hati kita dengan merendahkan diri di hadapan Allah dan meminta diberi hati yang mau menerima realita sebagai bagian dari kehendak Allah untuk mengajari kita hidup di dalam Dia.

2)     Mengimani bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik
“Izinkan saya bercerita sedikit gambaran yang saya alami selepas lulus dari perguruan tinggi. Saya mempunyai cita-cita menjadi seorang pendeta di suatu gereja dan hal ini sudah sejak kecil saya cita-citakan dan baru saya mengerti mengapa saya bercita-cita demikian ketika menjadi mahasiswa dan dibina di kelompok kecil. Dalam kurun waktu enam tahun (sampai sekarang) saya tetap mendoakannya (walaupun ada masanya saya tidak taat mendoakannya). Selepas saya lulus dari perguruan tinggi, dengan keyakinan bahwa saya tidak mau merepotkan orang lain terlalu banyak untuk mencapai cita-cita saya (biasanya orang yang mau menjadi hamba Tuhan, mendapat bantuan dana dari donator-donatur), maka saya mencari kerja dengan suatu pandangan setidaknya saya punya modal juga untuk sekolah ke depan.

Saban hari saya melamar, saya banyak mengalami kegagalan, bahkan sampai tiga tahun saya banyak mengalami kegagalan, diperparah dengan kondisi semangat keluarga yang menurun drastis karena adik saya meninggal karena sakit sewaktu saya masih menyusun skripsi di medan. Sangat terasa bagaimana kacaunya hidup saya, kondisi jiwa saya tidak stabil, saya banya mempertanyakan ekesistensi saya sebagai manusia, dan  depresi? Ya saya mengalami, bahkan saya pernah menangis sambil berteriak “Kenapa saya alami hal ini?” Keluarga juga tidak tinggal diam, mereka menguatkan saya bahwa Tuhan pasti berikan yang terbaik. Lihat? Saya yang banyak belajar tentang Tuhan justru dikuatkan oleh keluarga saya yang tidak banyak membuka alkitab untuk dibaca. Peristiwa itu menjadi sebuah sentilan bagi saya, bahwa saya masih punya harapan walaupun keyakinan saya akan hal itu hanya secuil.

Dalam gamang yang saya alami, saya mencoba berdoa dalam tangis di kamar mandi, sekiranya Tuhan mau berbelas kasih dan memberi saya kekuatan serta iman untuk percaya bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik bagi saya. Bak gayung bersambut, singkat cerita, adik konseling saya menelpon dan bercerita bahwa dirinya sangat gelisah memikirkan saya dan hendak merekomendasikan saya menjadi seorang staff di suatu lembaga pelayanan. Saya pikir itu hanya perasaan dia semata saja, maka dengan enteng saya bilang: “ya sudah, bilang saja sama mereka”.

Lepas tiga bulan, seorang staff dari lembaga pelayanan tersebut menghubungi saya dan mengajak saya untuk bertemu, saya sontak kaget dan tak menyangka hal ini ternyata terjadi. Saat kami bertemu, saya ceritakan apa yang saya rindukan, saya ingin menjadi pemberita Firman. Tapi justru staff tersebut membukakan kondisi bahwa dibutuhkan staff kantor, selama sebulan saya berdoa, saya merasa Tuhan diam, suasana hening, saya tidak dapat mencerna apa yang Allah katakan dalam firman-Nya, karena sekali lagi seperti yang tidak saya harapkan. Tapi, entah kenapa dalam batin saya, terus berkata: “Kehendak-Nya yang terbaik, dan dia dapat memakai siapapun, situasi apapun untuk mengajari dan membentuk kita sesuai kehendak-Nya”. Dalam kesombongan saya dipaksa tunduk dan rendah hati, untuk mengimani dan menaati bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik, sehingga hal itu memampukan saya menerima tawaran tersebut. “

Dalam kata “iman” terkandung sikap penerimaan, penyerahan diri, dan pengharapan. Dalam zaman dimana ide-ide saling bertarung dengan menawarkan kebenarannya masing-masing, tak pelak kita berbagian dalam mengungkapkan ke-egois-an bahwa pendapat kita adalah yang paling benar. Dan bukan hanya itu, kita menuntut agar terus diperhatikan, kita ingin didengar. Kita mencintai diri kita lebih daripada Allah dan menjadikan diri kita pusat. Sulit bagi kita menerima hal yang tidak baik terjadi dalam hidup kita, sehingga menggerus iman kita, saban hari kita berdoa semau kita, asal membuat hati tenang dan meminta segala apapun yang sesuai dengan keinginan hati kita.

Yesus tidak hanya mengajar berdoa tetapi juga mengajar bahwa di dalam doa bukan hanya kehendak kita yang kita perdengarkan, tetapi kita harus juga mendengar dan menerima kehendak Allah. Dengan begitu, kehidupan kita sebagai orang percaya berbeda dengan orang lain yang menggantungkan hidup dan masa depannya pada kekuatannya sendiri, kita justru melihat dengan mata iman bahwa Allah yang menjadi landasan kita berharap, Ia juga yang merasakan apa yang kita rasakan dan turut menyertai kita sepanjang hidup kita.

Selamat belajar berdiam dalam Allah dan hadirat-Nya dan mengimani bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik dalam hidup kita.


Senin, 21 Januari 2019

Kehendak Allah atau Kehendak Saya? (Yakobus 4:13-17)

Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Terlebih dalam suasana tahun baru ini, setiap orang pasti memiliki rencana-rencana terbaik dalam hidupnya, begitu juga dengan saya.

Seorang pebisnis pasti menginginkan bisnisnya meraup untung lebih banyak tahun ini, seorang pelajar pasti menginginkan nilai terbaik yg didapatnya tahun ini. Seorang pengangguran seperti saya juga menginginkan pekerjaan yg baik sehingga saya bisa berpenghasilan. Semua itu butuh rencana untuk mewujudkannya.

Semua orang termasuk saya mengatur hidupnya sendiri, mengatur rencananya sendiri dan berandai-andai bahwa semua yang direncanakan akan didapatkan sebelum terjadi.
Ini hal wajar, tetapi ada sebuah pertanyaan dalam benak saya: "Bagaimana jika semua tidak sesuai keinginan/kehendak dan rencana saya?" Sedang saya saja tidak mengetahui sedikitpun apa yg terjadi hari esok, hanya Tuhan yang tahu.

Tidak salah berencana dan berusaha, tapi apa yang saya sesali adalah saya tidak melibatkan Tuhan dalam rencana saya. Saya terlalu sombong, saya tidak memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan untuk hidup saya dalam tahun ini.
Seharusnya saya berkata: "Jika Tuhan menghendaki, maka saya akan berbuat yang terbaik sesuai kehendak-Nya."

Sehingga, jika yang terbaik yang saya dapatkan, saya akan mensyukuri dan memuji Allah dan sekalipun yang buruk yang terjadi dalam hidup, saya akan menerimanya, karena saya yakin bahwa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi setidaknya untuk menguatkan iman saya pada-Nya.

Kehendak-Nya yang terbaik bagi saya, kita, dan semua orang percaya.

Jumat, 15 Desember 2017

Anak Muda Jadi Teladan? Siapa Takut!

Hellow, udah lama gak ngeblog, mau sharing-sharing dikit ya (maklumin, udah setahun sembunyi di goa, hehehe), maklumin juga tulisannya agak berantakan :D. Langsung ke pointnya aja deh, menurut kita apa sih masa muda itu? Pasti banyak banget definisinya. Menurut saya, masa muda itu adalah masa-masa dimana seseorang mengalami perkembangan fisik, emosional dan karakter. Masa muda adalah juga sebuah masa yang paling strategis (menurut hemat saya) dimana ide, paham, dan konsep-konsep saling berbenturan dan berebut untuk memberi pengaruh pada anak muda, karena masa muda adalah masa-masa pencarian jati diri juga (wesss berat nihh :D). 

Kita harus akui, anak-anak muda sekarang, entah itu Gen Y atau Z atau Millenials yang termasuk saya sendiri,  adalah anak-anak yang penuh potensi, banyak bakat dan lebih kreatif (sombong amat gue yak :D), dan lebih melankolis (mungkin, wkwk). Buktinya banyak talenta-talenta berbakat yang kadang bisa bikin orang-orang lain gak habis pikir. Nah, potensi yang demikian besarlah yang sedang dinanti bangsa dan gereja saat ini demi kemajuan bersama ke arah yang lebih baik. Saya rasa disini porsi anak-anak muda yang sudah mengenal Allah untuk memberi pengaruh baik terhadap anak-anak muda yang lainnya. 

Ditengah-tengah kondisi zaman yang banyak menuntuk ke-aku-an atau cinta diri, kita gak bisa menampik bahwa banyak anak-anak muda yang terseret dalam ke-aku-an (termasuk saya sendiri). Saya tidak bilang tidak boleh mencintai diri, boleh tapi jangan berlebihan seolah-olah hanya diri ini lah yang patut mendapat perhatian hingga akhirnya kita melupakan Tuhan. 

Hal seperti ini sudah Paulus tuliskan dalam 2 Timotius 3:1-9, dimana ia bilang bahwa dimasa-masa kemudian masa-masa yang sukar ditandai dengan manusia lebih mencintai diri sendiri dan melawan Allah. Salah satu contoh adalah dimana orang maunya mendengar apa yang enak di telinganya saja, susah untuk mau mendengar nasihat atau teguran, gak jauh beda sama masa sekarang dan justru banyak orang yang ditegur lebih keras dari yang menegur. Di masa-masa seperti itu Paulus menasihatkan Timotius untu mengingatkan teman-teman seiman untuk menjauhi dongeng-dongeng atau takhayul dan melatih diri beribadah supaya ia menjadi pelayan Kristus yang baik dan diperkenan Allah (1 Tim. 4:6-11). 

Bukan hanya itu, menjadi teladan dan dengan berani untuk mengabarkan firman Allah kepada siapapun (termasuk orang yang lebih tua). Berani itu yang Paulus hendak maksudkan kepada Timotius, berani untuk menegur jemaat, berani untuk beritakan kebenaran, berani untuk menjaga sikap hidup yang benar. Penting untuk kita ketahui bahwa Timotius adalah seorang yang pemalu dan penakut (2 Kor. 16:10-11; 2 Tim 1:7-8), namun Paulus menguatkan  agar Timotius berani menjalankan tugasnya sebagai penggembala jemaat kelak walaupun ia seorang yang muda yang mungkin dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang lebih tua dalam urusan memimpin jemaat (atau karena belum banyak makan asam garam kehidupan). Paulus juga menasihatkan bukan hanya untuk berani melainkan juga menjadi teladan. Tealdan dalam hal perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, kesucian. Menjadi teladan hidup seperti apa yang Yesus ajarkan, menjadi kitab hidup yang dapat dilihat semua orang sehingga banya orang memuji Allah melalui hidup kita. 

Konteks zaman Timotius gak jauh beda sama zaman kita, yang beda mungkin teknologi atau budaya yang udah makin berkembang. Nasihat-nasihat Paulus kepada Timotius patut kita renungkan dan lakukan juga dalam kehidupan kita sekarang sebagai anak muda. Berani untuk hidup benar sesuai kehendak Allah, berani untuk menjadi teladan dan mengabarkan firman Allah, berani menebarkan cinta kasih sekalipun banyak yang mempertanyakan bahkan mungkin mengejek, kita harus tetap setia.  

Nah gimana caranya agar tetap survive melakuka hal tersebut?. Yang menjadi  permasalahan sekarang adalah  banyak yang mau berbuat baik dan terima yang baik tapi gak kenal sama sumbernya terlebih dahulu. Ini bahaya! Karena nanti dampaknya akan melemahkan kita sendiri, tanpa pengenalan yang dalam akan Allah, kita cenderung akan mudah menyerah dengan semua tekanan yang ada. Maka hal-hal praktis agar kita gak mudah menyerah dan semakin mengenal Allah patut kita lakukan yaitu dengan baca kitab suci dan doa dengan rajin, setelah itu kita aplikasikan dalam hidup kita. Semakin banyak kita membaca, semakin tahu kita dan semakin dalam mengenal Allah kita dan apa yang dikehendakiNya, dengan doa kita dapat mengutarakan isi hati kita, terbuka di hadapan Allah. Hal itulah yang menguatkan kita. So, kalo kita rajin melakukan hal ini, kita akan semakin kuat ketika diperhadapkan tantangan hidup yang menuntut kita hidup dengan standard dunia. Kita juga semakin kuat untuk melakukan kehendak Allah dan menjadi teladan sebagai anak-anak muda

So, jangan takut jadi orang muda dan jadilah teladan!