Nas
ini merupakan suatu rangkaian peristiwa malam terakhir sebelum Yesus
disalibkan. Taman Getsemani itu menjadi saksi bisu akan kesedihan, ketakutan,
penyerahan diri dalam diam, keheningan dan kegamangan yang dialami oleh seorang pribadi perombak
sejarah semesta ini. Sekaligus menjadi suatu tanda pengingat tetap bagi orang
yang percaya pada-Nya untuk merenungkan makna akan apa yang dilakukan-Nya pasca
peristiwa tersebut. Peristiwa yang bukan hanya mengguncang dunia dan menjadi
perdebatan hingga hari ini, tapi lebih jauh daripada itu, yaitu peristiwa yang
dapat merubah hati dan pikiran manusia yang mempercayai Pribadi tersebut.
Nas
ini dimulai dengan kata-kata “maka sampailah…” yang berarti bahwa Ia (Yesus)
berjalan dari suatu tempat dan menuju Getsemani (Lukas menyebutkan dalam bahwa
Ia berjalan seperti biasanya---Luk. 22:39), tetapi ketiga Injil sinoptik
menuliskan bahwa kejadian itu ditulis setelah perjamuan malam terakhir yang
dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya. Untuk Getsemani sendiri, tiada
informasi jelas mengenai letak taman ini, tetapi yang pasti berada di sekitaran
Bukit Zaitun (ay.30). Sesampainya, Yesus menyuruh sebagian besar murid-Nya
untuk duduk dan Ia pergi untuk berdoa. Lukas mencatat bahwa pergi ke Bukit
Zaitun adalah sebuah kebiasaan bagi Yesus yang artinya murid-murid-Nya pun
tentu tak heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
Menjadi
sebuah keunikan bahwa Yesus memilih tiga orang murid untuk menemani-Nya ke
tempat Ia berdoa. Ia sempat menceritakan kepada Petrus bahwa hati-Nya sangat
sedih dan seperti mau mati rasanya. Tentu hal ini membuat sedikit banyak
goncangan dalam hati dan pikiran ketiga murid tersebut, karena semenjak
perjamuan malam, Yesus Sang Mesias yang diharapkan untuk membebaskan umat
Israel terus saja berbicara tentang kematian dan kematian dan mungkin dalam
hati, mereka terus bertanya apa yang akan terjadi setelahnya.
Dalam
kegentaran dan kesedihan yang dialami-Nya, Yesus meminta mereka untuk berjaga selagi Ia
berdoa. Ia menunjukkan suatu hal yang indah dalam suasana hening yang mencekam,
Ia yang adalah insan dan Ilahi mengambil suatu waktu khusus untuk berdiam,
mencurahkan seluru isi hati-Nya pada Bapa. Dalam kegentaran, kerumitan,
ketakutan, kesedihan yang dialami, Ia memilih berdiam, mendengar Bapa berbicara
dan menyatakan kehendak-Nya (Bapa). Kesedihan dan kegentaran-Nya menjadi suatu
bukti bagi kita bahwa Ia adalah Allah yang dekat, yang turut merasakan ketakutan dan kegentaran
yang sama sepeti yang kita alami, bahkan lebih daripada yang kita rasakan.
Satu
hal kemudian, juga dalam keheningan, Ia meminta murid-Nya “berjaga”. Saya tidak
tahu pasti apa yang menjadi tujuan Yesus meminta murid-Nya berjaga entah
mencegah datangnya gangguan, saya tidak tahu persis. Tapi saya mendapat suatu
perenungan pribadi bahwa jauh daripada itu Yesus meminta murid-murid (bahkan
kita) agar kita tak hilang fokus atau luput daripada Tuhan dengan kata lain,
jiwa kita terpaut dan bergantung hanya pada Dia, Allah Bapa kita di tengah
segala realita yang memungkinkan kita untuk berbelok menjauh dari koridor
Tuhan.
Satu
hal yang menarik kemudian, dalam doa-Nya, Yesus berbicara: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya
mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Ku-kehendaki
melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Dalam hening , Ia berdoa dan memohon dengan gentar “sekiranya mungkin…” suatu kata yang
menunjukkan betapa ketakutan itu sangat kuat menekan diri Yesus, bahkan Lukas
menyebutkan peluh-Nya seperti titik-titik darah, bahkan malaikat datang untuk
memberi kekuatan kepada-Nya (Luk. 22:43-44), artinya ini bukan hal yang
main-main, di dalam kata tersebut menunjukkan betapa mau tidak mau ada suatu
harapan yang tidak dapat dicapai, suatu permohonan yang tidak terkabulkan. Permohonan
akan lepas dari suatu ketakutan, penderitaan yang hebat dimana Ia mengalami
keterpisahan total dengan Bapa ketika dosa-dosa manusia ditimpakan kepada-Nya,
dimana Ia menjadi kutuk atas suatu kesalahan yang tidak pernah dibuat-Nya (Gal.
3:13), juga dimana Bapa menyembunyikan wajah-Nya dan meninggalkan-Nya (bdk.
Mat. 27:46).
Cawan
itu juga sekaligus membuka mata kita bahwa keterpisahan dari Allah menjadi
suatu hal yang sangat mengerikan, yang membuat jiwa kita tersiksa, membuat kita
seharusnya menyadari dan turut bersedih karena kita telah sangat jauh
meninggalkan Allah karena dosa kita. Cawan itu juga yang menjadi salah satu
dasar kita berharap bahwa Yesus mengalami sama bahkan lebih daripada yang kita
alami sebagai manusia.
Selanjutnya
kita melihat bahwa Ia berkata: “janganlah seperti yang Ku-kehendaki,
melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” . Dalam kata ini setidaknya
ada beberapa hal yang menjadi pelajaran buat saya pribadi (mungkin bagi kita
juga):
1)
Penerimaan
Yesus di dalam kegentaran dan
kesedihannya dengan rendah hati menerima apa yang akan terjadi kedepan. Sekalipun
menakutkan dan dapat dibayangkan betapa menderita-Nya, Ia menerima apapun yang
terjadi. Ia menerima dalam suatu keyakinan penuh bahwa kehendak Bapa adalah
yang terutam dan yang terbaik.
2)
Penyerahan Diri
“Jadilah
kehendak-Mu…” menjadi kata umum yang dipakai khususnya
orang Kristen dalam doa-doa yang dilantunkan setiap hari. Terlepas dari
terdistorsinya makna kata ini karena sering digunakan (mungkin), kata ini juga
menjadi suatu isyarat akan penyerahan diri dalam kehendak Allah, yanga berarti
totalitas hidup kita bergantung pada Allah. Bukan berarti tidak bekerja dan tidak
melakukan apa-apa, justru sebaliknya membuat kita bekerja bahkan melakukan
apapun dengan giat karena ada suatu pengharapan akan janji penyertaan Allah
yang memungkinkan kita menjalani hari tanpa kekuatiran akan masa kedepan.
3)
Pengharapan
“Jadilah
kehendak-Mu…” juga menjadi suatu proklamasi iman. Bahwa
apapun yang terjadi dalam hidup, kita dengan rendah hati menerimanya. Sekalipun
sulit yang kita terima, tidak membuat kita lantas menyalahkan Tuhan dan
sekalipun senang yang kita dapat, juga tak membuat kita lantas menjadi tinggi
hati, karena itu adalah kemurahan hati Allah. Proklamasi itu menghantarkan kita
pada suatu harapan dan keyakinan bahwa Ia menjaga apapun yang kita taruhkan hingga
hari-Nya kelak
Sekali lagi, ungkapan “Jadilah kehendak-Mu…” ini menjadi
ungkapan penerimaan, penyerahan diri, dan pengharapan Yesus dalam doa-Nya,
bahwa sekalipun cawan itu ditimpakan, hal itu adalah kenyataan yang harus Ia
terima dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Sekalipun takut, sedih, gentar, Ia
menerima dengan penyerahan diri pada Bapa dalam kehendak-Nya, karena ia yakin
bahwa misi-Nya bukan menjadi suatu misi yang sia-sia, karena banya orang yang
dimenangkan oleh pemberitaan salib Kristus.
Dan menjadi suatu perhatian bagi
kita, bahwa peristiwa ini bukan isapan jempol belaka, bukan peristiwa tanpa
makna, karena kita dapat melihat bukti sampai tiga kali Ia berdoa mengucapkan
hal yang sama. Peristiwa ini menjadi suatu peristiwa penting dalam sejarah
kehidupan manusia, bahwa Sang Agung harus mengalam kegentaran dan kesedihan,
juga menjadi teladan dalam penerimaan atas realita yang akan terjadi karena
keyakinan bahwa kehendak Bapa adalah yang terbaik. Peristiwa yang tidak hanya
merubah arah sejarah sekaligus mengubah hati manusia sebagai pelaku sejarah
yang percaya akan kematian dan kebangkitan-Nya.
Lantas, apa yang bisa saya
lakukan terkait refleksi ini?
1)
Mengambil waktu khusus untuk berdiam
Dalam zaman yang super sibuk ini, mau
tidak mau, energi kita akan terkuras banyak dan membuat kita dengan mudah
menjadi hilang fokus akan tugas kita sebagai orang percaya. Sama seperti Yesus,
mari ambil suatu waktu khusus untuk kita berdiam, berdoa, berbincang dan
mencurahkan seluruh isi hati kita dengan merendahkan diri di hadapan Allah dan
meminta diberi hati yang mau menerima realita sebagai bagian dari kehendak
Allah untuk mengajari kita hidup di dalam Dia.
2)
Mengimani bahwa kehendak Allah adalah
yang terbaik
“Izinkan
saya bercerita sedikit gambaran yang saya alami selepas lulus dari perguruan
tinggi. Saya mempunyai cita-cita menjadi seorang pendeta di suatu gereja dan
hal ini sudah sejak kecil saya cita-citakan dan baru saya mengerti mengapa saya
bercita-cita demikian ketika menjadi mahasiswa dan dibina di kelompok kecil. Dalam
kurun waktu enam tahun (sampai sekarang) saya tetap mendoakannya (walaupun ada
masanya saya tidak taat mendoakannya). Selepas saya lulus dari perguruan
tinggi, dengan keyakinan bahwa saya tidak mau merepotkan orang lain terlalu
banyak untuk mencapai cita-cita saya (biasanya orang yang mau menjadi hamba
Tuhan, mendapat bantuan dana dari donator-donatur), maka saya mencari kerja
dengan suatu pandangan setidaknya saya punya modal juga untuk sekolah ke depan.
Saban
hari saya melamar, saya banyak mengalami kegagalan, bahkan sampai tiga tahun
saya banyak mengalami kegagalan, diperparah dengan kondisi semangat keluarga
yang menurun drastis karena adik saya meninggal karena sakit sewaktu saya masih
menyusun skripsi di medan. Sangat terasa bagaimana kacaunya hidup saya, kondisi
jiwa saya tidak stabil, saya banya mempertanyakan ekesistensi saya sebagai
manusia, dan depresi? Ya saya mengalami,
bahkan saya pernah menangis sambil berteriak “Kenapa saya alami hal ini?”
Keluarga juga tidak tinggal diam, mereka menguatkan saya bahwa Tuhan pasti
berikan yang terbaik. Lihat? Saya yang banyak belajar tentang Tuhan justru
dikuatkan oleh keluarga saya yang tidak banyak membuka alkitab untuk dibaca.
Peristiwa itu menjadi sebuah sentilan bagi saya, bahwa saya masih punya harapan
walaupun keyakinan saya akan hal itu hanya secuil.
Dalam
gamang yang saya alami, saya mencoba berdoa dalam tangis di kamar mandi,
sekiranya Tuhan mau berbelas kasih dan memberi saya kekuatan serta iman untuk
percaya bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik bagi saya. Bak gayung bersambut,
singkat cerita, adik konseling saya menelpon dan bercerita bahwa dirinya sangat
gelisah memikirkan saya dan hendak merekomendasikan saya menjadi seorang staff
di suatu lembaga pelayanan. Saya pikir itu hanya perasaan dia semata saja, maka
dengan enteng saya bilang: “ya sudah, bilang saja sama mereka”.
Lepas
tiga bulan, seorang staff dari lembaga pelayanan tersebut menghubungi saya dan
mengajak saya untuk bertemu, saya sontak kaget dan tak menyangka hal ini
ternyata terjadi. Saat kami bertemu, saya ceritakan apa yang saya rindukan,
saya ingin menjadi pemberita Firman. Tapi justru staff tersebut membukakan
kondisi bahwa dibutuhkan staff kantor, selama sebulan saya berdoa, saya merasa
Tuhan diam, suasana hening, saya tidak dapat mencerna apa yang Allah katakan dalam
firman-Nya, karena sekali lagi seperti yang tidak saya harapkan. Tapi, entah
kenapa dalam batin saya, terus berkata: “Kehendak-Nya yang terbaik, dan dia
dapat memakai siapapun, situasi apapun untuk mengajari dan membentuk kita sesuai
kehendak-Nya”. Dalam kesombongan saya dipaksa tunduk dan rendah hati, untuk mengimani
dan menaati bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik, sehingga hal itu
memampukan saya menerima tawaran tersebut. “
Dalam kata “iman” terkandung sikap
penerimaan, penyerahan diri, dan pengharapan. Dalam zaman dimana ide-ide saling
bertarung dengan menawarkan kebenarannya masing-masing, tak pelak kita berbagian
dalam mengungkapkan ke-egois-an bahwa pendapat kita adalah yang paling benar. Dan
bukan hanya itu, kita menuntut agar terus diperhatikan, kita ingin didengar. Kita
mencintai diri kita lebih daripada Allah dan menjadikan diri kita pusat. Sulit bagi
kita menerima hal yang tidak baik terjadi dalam hidup kita, sehingga menggerus
iman kita, saban hari kita berdoa semau kita, asal membuat hati tenang dan
meminta segala apapun yang sesuai dengan keinginan hati kita.
Yesus tidak hanya mengajar berdoa
tetapi juga mengajar bahwa di dalam doa bukan hanya kehendak kita yang kita
perdengarkan, tetapi kita harus juga mendengar dan menerima kehendak Allah. Dengan
begitu, kehidupan kita sebagai orang percaya berbeda dengan orang lain yang
menggantungkan hidup dan masa depannya pada kekuatannya sendiri, kita justru
melihat dengan mata iman bahwa Allah yang menjadi landasan kita berharap, Ia
juga yang merasakan apa yang kita rasakan dan turut menyertai kita sepanjang
hidup kita.
Selamat
belajar berdiam dalam Allah dan hadirat-Nya dan mengimani bahwa kehendak Allah
adalah yang terbaik dalam hidup kita.