Rabu, 09 November 2016

Jangan Lupa Hidup Jujur (Refleksi Kisah Para Rasul 4:36-5:1-11)

Lukas mencatat bahwa setelah peristiwa turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kis. 2:1-13), kehidupan para murid berubah total. Mereka semakin berani mengabarkan tentang Yesus. Bahkan cara hidup mereka disukai oleh banyak orang (Kis. 2:47). Mereka sehati, sejiwa, dan tidak ada sesuatu yang menjadi milik kepunyaan sendiri, semua adalah milik bersama (Kis. 4:32). Milik bersama? Terdengar aneh bukan? Tapi itulah yang terjadi pada masa itu. Mereka tidak ada yang berkekurangan, karena semua orang yang mempunyai tanah ataupun rumah, pasti menjualnya dan hasil penjualannya itu dibawa ke depan kaki rasul –rasul  dan dibagi-bagikan sesuai keperluan mereka. Terdengar konyol bukan? Ya, tetapi hel tersebut merupakan gambaran perubahan hidup mereka, ketika mereka percaya kepada Kristus.
 Dan kisah hidup demikianlah yang mengantarkan kita kepada 2 contoh di dalam alkitab terkait dengan kejujuran. Mengapa harus kejujuran? Pernah mendengar pepatah “dimana hartamu berada, disitu hatimu berada”?. Ketika seseorang mempunyai harta, ia pasti akan menjaga harta tersebut dan hal itu adalah manusiawi. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika harta menguasai hati kita, dan kita menghambakan diri pada harta, sehingga apapun yang kita lakukan hanya demi menjaga maupun menambah tumpukan harta kita. Maka tidak heran, fenomena ini berkaitan dengan kejujuran seseorang.
Perikop ini menceritakan dua contoh orang yang berlaku terkait dengan kejujuran dalam hal mempersembahkan hasil penjualan mereka.
1.      Barnabas
Barnabas adalah seorang dari rekan rasul-rasul, yang memiliki nama asli Yusuf (Kis. 4:36). Ia adalah seorang Lewi yang berasal dari Siprus. Ia memiliki arti nama anak penghiburan, yang pada akhirnya menjadi rekan Paulus dalam mengabarkan Injil ke orang-orang non Yahudi (Kis. 15:2-35) dan berpisah karena perselisihan dengan Paulus (Kis. 15:36-39). Barnabas adalah salah satu dari orang-orang yang ikut mempersembahkan hasil menjual ladangnya di hadapan rasul-rasul. Ia adalah seorang yang jujur dan tercatat bahwa ia tidak menyembunyikan apapun di dalam dirinya. Karena ia benar-benar tulus di dalam mempersembahkan hasil penjualannya tersebut. Buah pertobatan dan kasih yang dialaminya terpancar melalui kehidupannya dengan menyerahkan uang hasil penjualan ladang untuk membantu jemaat yang berkekurangan dan nyatalah sesuai dengan arti namanya tersebut, bahwa ia menjadi teladan dalam kejujuran dan anak penghiburan bagi rasul-rasul.
2.      Ananias dan Safira
Mereka adalah pasangan suami istri dan merupakan anggota jemaat. Mereka juga bersepakat untuk mempersembahkan hasil penjualan sebidang tanah kepunyaan mereka dihadapan rasul-rasul. Dan dengan setahu isterinya, Ananias menahan sebagian dari hasil penjualan sebidang tanah tersebut. Hal tersebut menjadi sangat jelas bahwa bukan hanya Ananias yang mengetahui, jauh lebih dalam bahwa mereka bersepakat untuk mempersembahkan setengah dari hasil penjualan tersebut. Petrus mengetahui hal ini, dan ia menegur dengan keras bahwa perbuatan yang dilakukan Ananias tidaklah benar. Ada yang salah di dalam motivasi untuk memberi yang dilakukan pasangan suami-istri tersebut. Mereka memberi bukan berdasar kerelaan, mereka menahan sebagian hasil penjualan tersebut yang jikalau pun hasil tersebut tidak ditahan oleh mereka, hasil itu tetap berada dalam kuasa mereka. Satu hal lagi yang menjadi dosa mereka adalah ketidakjujuran mereka dihadapan Allah, lagi rasul Petrus menegur bahwa mereka bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah. Maka, kematian yang menghampiri Ananias. Hal yang sama menimpa pula kepada Safira yang adalah istri Ananias, ia tidak mengetahui kalau suaminya telah mati, maka ketika Petrus bertanya perihal penjualan tersebut, Petrus pun mendapati bahwa Safira pun bersepakat dengan suaminya yang membuat dia pun mati.

Dari dua kisah tersebut kita dapat melihat bahwa kejujuran di dalam memberi menjadi hal yang sangat penting di dalam hidup kita. Ananias dan Safira telah menjadi contoh ketidakjujuran. Ketidakjujuran yang kita lakukan dihadapan sesama, bukan hanya membuat kita berdosa terhadap sesama, tetapi juga dihadapan Tuhan. Seringkali kita membuat dikotomi dalam dosa, dosa terhadap manusia dan Allah, padahal segala dosa yang kita lakukan adalah dosa kepada Allah (Maz. 51:6). Dosa tetap ada konsekuensi, dan Ananias beserta isterinya pun menjadi contoh bahwa Allah tidak main-main dalam menanggapi dosa. Dan hal inilah yang seharusnya membuat kita sadar bahwa Allah tidak membiarkan diri-Nya dpermainkan (bdk. Gal. 6:7).
Kejujuran sangat erat kaitannya dengan motivasi seseorang dalam berperilaku. Sebagai orang percaya, kejujuran mau tidak mau memaksa kita pribadi untuk memiliki motivasi yang benar didalam bertindak bagi sesama kita maupun dihadapan Allah. Kejujuran dan keterbukaan kita dalam hidup ini adalah salah satu contoh bahwa kita adalah orang-orang yang dikuduskan Allah. Jangan terlalu sering memakai topeng, mari kita lepas topeng kita masing-masing, dan hidup jujur sesuai dengan yang Allah kehendaki. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di sepanjang zaman.

Mari hidup jujur dihadapan Allah!
Mari hidup jujur ketika tiada seorang pun melihat!
Mari hidup jujur dihadapan sesama!
Dan ketika pun kita dicobai untuk hidup tidak jujur, Jangan Lupa untuk Hidup Jujur!