Jumat, 02 Desember 2016

Tidak Ada Intinya! (Mungkin Ada?)

Saya seorang sarjana, lulusan dari universitas ternama di Pulau Sumatera. Layaknya masyarakat kita, gelar ini sangat berarti dan cukup untuk membuat nama seeorang harum di lingkungannya, tapi gelar ini pun bisa menjadi boomerang bagi yang menyandangnya. Yah, menjadi boomerang karena si penyandang tak kunjung menghasilkan sesuatu atau konkritnya tidak bekerja dan menghasilkan uang, setidak-tidaknya untuk membahagiakan keluarga di rumah. Dan saya pun akhirnya memutuskan untuk mencoba mencari pekerjaan, walaupun dalam hati kecil saya, tidak merasa melakukan dengan segenap hati karena ini bukan impian saya. Orang bisa berkata bahwa saya seorang yang sangat idealis atau mungkin seorang yang bodah yang tidak memperhatikan realita dunia ini.
Saya memulai untuk melamar pekerjaan di perusahaan retail dan distribusi buku, alat multimedia dan atk ternama di Indonesia. Semua pasti sudah tahu bahwa ada satu toko buku ternama yang namanya sudah cukup besar di Indonesia. Ya, Gramedia menjadi tempat pertama saya untuk melamar perkerjaan. Sebagai orang yang baru melamar pekerjaan, rasa dag dig dug pasti melanda dan saya tidak tahu mengapa rasa itu saya alami, mungkin dorongan emosional karena mencoba hal yang baru (mungkin saja). Saya mengirim lamaran untuk 2 posisi, yaitu sebagai Store Supervisor dan Asisten Editor Fiksi/Non Fiksi di perusahaan tersebut. Saya mengirim berkas lamaran melalui email dimana 3 hari lagi batas terakhir pengiriman lamaran akan ditutup. Dan betul saja memang dalam hati kecil saya, tidak menaruh harapan terlalu besar untuk hal ini.
Dan hal yang tidak diduga pun terjadi, pertama bahwa pihak perusahaan Gramedia membalas secara cepat berkas lamaran yang saya kirimkan, hanya berselang 1 hari dari berkas lamaran yang saya kirimkan. Dan yang kedua adalah bahwa dalam surat balasan tersebut saya dinyatakan lolos berkas dan mendapat undangan untuk mengikuti test psikotest dari serangkaian test masuk ke perusahaan tersebut. Melihat surat balasan tersebut, ada perasaan bahagia yang saya alami dan sangat bertolak belakang dengan perasaan yang saya alami ketika mencobanya yang seakan ogah-ogahan. Syarat saya mengikuti test tersebut adalah membawa berkas-berkas lamaran saya (CV, 4 lembar formulir dari pihak Gramedia, NPWP kalau ada, Fotocopy rek. BCA kalau ada, Fotocopy KTP, Fotocopy ijazah dan transkrip nilai yang di legalisir). Saya mengikuti test psikotest tersebut selang dua hari setelah saya membaca surat tersebut, ya seolah-olah semua berjalan sangat cepat.  
Test dilaksanakan di gedung Kompas Gramedia yang terletak di jalan Palmerah Selatan. Test dilaksanakan pukul 09.00WIB tepat. Ya, lagi-lagi saya tidak berharap banya dalam test ini, dikarenakan baru pertama kali mencobanya dengan tujuan melamar pekerjaan dan kedua karena saya mengisi tidak bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia. Saya hanya mau ditempatkan di Jakarta karena ada suatu hal yang tidak bisa saya ceritakan. Pertama kali dibuka oleh perkenalan dari pengawas dan mereka menjelaskan tentang perusahaan tersebut dan sekaligus menjelaskan beberapa tahapan untuk sampai bekerja di Gramedia. Asal tau saja ada beberapa tahapan untuk sampai bekerja disana. Pertama test berkas, kedua test psikotes, ketiga FGD dan wawancara (HR dan Gaji), kelima test medis/kesehatan, kalau dinyatakan lolos tes medis tahapan selajutnya ialah hire atau perekrutan dan itu tahap menandakan seseorang bisa bekerja dalam perusahaan tersebut.
Dimulai dengan berdoa menurut kepercayaan masing-masing dan kemudia mengerjakan soal-soal test sampai 2 jam. Seperti pengalaman dari teman-teman saya, test tersebut berisi test kata, matematika, test koran dan yang terakhir tes untuk menjawab pernyataan dengan benar atau salah sesuai kepribadian. Menurut saya, bagian yang paling sulit adalah test koran dikarenakan harus berpacu dengan waktu yang ditentukan pengawas (walaupun menurut artikel yang saya baca, test koran bertujuan untuk melihat grafik dari peserta yang menandakan bagaimana dia bekerja nantinya). Saya sarankan harus sarapan dan banyak minum sebelum mengikuti test tersebut karena menguras energi yang banyak. Setelah test berakhir, kami diminta untuk menunggu pengumuman paling lambat 2 minggu kedepan.
Benar saja dan tepat pada waktunya, saya mendapat email dari pihak HR-Gramedia yang menyatakan tidak lolos. Dan sehari kemudian saya melihat kembali email saya dan mendapat surat yang yang menyatakan saya lulus. Yang bisa saya lakukan hanya bersyukur karena bisa lolos tahapan selanjutnya yaitu FGD dan wawancara. Selang 5 hari kemudian FGD pun diadakan, kali ini di gedung HR GoRP di jalan Palmerah Selatan No.14. Dari 9 peserta yang namanya tertulis pada daftar hadir, hanya 6 orang yang mengikuti FGD. FGD dimulai dengan topik Kepemimpinan, masing-masing peserta harus mengurutkan angka 1-14 dimulai dari yang paling penting (1) hingga kurang penting (14) tentang karakteristik pemimpin yang sudah disediakan dalam kertas soal dan jawaban. Kedua, para peserta harus mempresentasikan jawabannya di depan peserta lainnya dan tentunya pengawas dan dilanjutkan dengan tanya-jawab antar peserta yang memperhatikan dan yang mempresentasikan. Dan terakhir adalah berdiskusi untuk menentukan mana yang paling penting dan kurang penting tentang karakteristik kepemimpinan dan tahapan ini cukup lama. Setelah selesai peserta diperintahkan untuk menunggu hasil yang menentukan siapa yang lolos untuk wawancara.
Hal yang berbeda saya rasakan dari sebelumnya, setelah saya mengikuti FGD tersebut, saya yakin saya akan lolos. Karena saya lumayan banyak bertanya dan menjelaskan hasil pemikiran saya (walaupun saya sudah baca artikel bahwa dalam FGD, yang banyak berbicara belum tentu lolos, tapi entah mengapa perasaan yakin lolos itu semakin tinggi). Kami harap-harap cemas menunggu hasilnya, dan tepat pada pukul 12.00WIB, hasil pengumuman ditempel di depan pintu ruangan tempat kami melaksanakan FGD. Ketika saya membaca hasilnya, nama saya tidak tertera dalam daftar orang yang lolos untuk wawancara. Seketika perasaan saya yang sangat yakin akan lolos pun sirna dan saya pulang kerumah dengan sedikit kekecewaan. Tentunya ini menjadi suatu pengalaman bagi saya….

Rabu, 09 November 2016

Jangan Lupa Hidup Jujur (Refleksi Kisah Para Rasul 4:36-5:1-11)

Lukas mencatat bahwa setelah peristiwa turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kis. 2:1-13), kehidupan para murid berubah total. Mereka semakin berani mengabarkan tentang Yesus. Bahkan cara hidup mereka disukai oleh banyak orang (Kis. 2:47). Mereka sehati, sejiwa, dan tidak ada sesuatu yang menjadi milik kepunyaan sendiri, semua adalah milik bersama (Kis. 4:32). Milik bersama? Terdengar aneh bukan? Tapi itulah yang terjadi pada masa itu. Mereka tidak ada yang berkekurangan, karena semua orang yang mempunyai tanah ataupun rumah, pasti menjualnya dan hasil penjualannya itu dibawa ke depan kaki rasul –rasul  dan dibagi-bagikan sesuai keperluan mereka. Terdengar konyol bukan? Ya, tetapi hel tersebut merupakan gambaran perubahan hidup mereka, ketika mereka percaya kepada Kristus.
 Dan kisah hidup demikianlah yang mengantarkan kita kepada 2 contoh di dalam alkitab terkait dengan kejujuran. Mengapa harus kejujuran? Pernah mendengar pepatah “dimana hartamu berada, disitu hatimu berada”?. Ketika seseorang mempunyai harta, ia pasti akan menjaga harta tersebut dan hal itu adalah manusiawi. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika harta menguasai hati kita, dan kita menghambakan diri pada harta, sehingga apapun yang kita lakukan hanya demi menjaga maupun menambah tumpukan harta kita. Maka tidak heran, fenomena ini berkaitan dengan kejujuran seseorang.
Perikop ini menceritakan dua contoh orang yang berlaku terkait dengan kejujuran dalam hal mempersembahkan hasil penjualan mereka.
1.      Barnabas
Barnabas adalah seorang dari rekan rasul-rasul, yang memiliki nama asli Yusuf (Kis. 4:36). Ia adalah seorang Lewi yang berasal dari Siprus. Ia memiliki arti nama anak penghiburan, yang pada akhirnya menjadi rekan Paulus dalam mengabarkan Injil ke orang-orang non Yahudi (Kis. 15:2-35) dan berpisah karena perselisihan dengan Paulus (Kis. 15:36-39). Barnabas adalah salah satu dari orang-orang yang ikut mempersembahkan hasil menjual ladangnya di hadapan rasul-rasul. Ia adalah seorang yang jujur dan tercatat bahwa ia tidak menyembunyikan apapun di dalam dirinya. Karena ia benar-benar tulus di dalam mempersembahkan hasil penjualannya tersebut. Buah pertobatan dan kasih yang dialaminya terpancar melalui kehidupannya dengan menyerahkan uang hasil penjualan ladang untuk membantu jemaat yang berkekurangan dan nyatalah sesuai dengan arti namanya tersebut, bahwa ia menjadi teladan dalam kejujuran dan anak penghiburan bagi rasul-rasul.
2.      Ananias dan Safira
Mereka adalah pasangan suami istri dan merupakan anggota jemaat. Mereka juga bersepakat untuk mempersembahkan hasil penjualan sebidang tanah kepunyaan mereka dihadapan rasul-rasul. Dan dengan setahu isterinya, Ananias menahan sebagian dari hasil penjualan sebidang tanah tersebut. Hal tersebut menjadi sangat jelas bahwa bukan hanya Ananias yang mengetahui, jauh lebih dalam bahwa mereka bersepakat untuk mempersembahkan setengah dari hasil penjualan tersebut. Petrus mengetahui hal ini, dan ia menegur dengan keras bahwa perbuatan yang dilakukan Ananias tidaklah benar. Ada yang salah di dalam motivasi untuk memberi yang dilakukan pasangan suami-istri tersebut. Mereka memberi bukan berdasar kerelaan, mereka menahan sebagian hasil penjualan tersebut yang jikalau pun hasil tersebut tidak ditahan oleh mereka, hasil itu tetap berada dalam kuasa mereka. Satu hal lagi yang menjadi dosa mereka adalah ketidakjujuran mereka dihadapan Allah, lagi rasul Petrus menegur bahwa mereka bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah. Maka, kematian yang menghampiri Ananias. Hal yang sama menimpa pula kepada Safira yang adalah istri Ananias, ia tidak mengetahui kalau suaminya telah mati, maka ketika Petrus bertanya perihal penjualan tersebut, Petrus pun mendapati bahwa Safira pun bersepakat dengan suaminya yang membuat dia pun mati.

Dari dua kisah tersebut kita dapat melihat bahwa kejujuran di dalam memberi menjadi hal yang sangat penting di dalam hidup kita. Ananias dan Safira telah menjadi contoh ketidakjujuran. Ketidakjujuran yang kita lakukan dihadapan sesama, bukan hanya membuat kita berdosa terhadap sesama, tetapi juga dihadapan Tuhan. Seringkali kita membuat dikotomi dalam dosa, dosa terhadap manusia dan Allah, padahal segala dosa yang kita lakukan adalah dosa kepada Allah (Maz. 51:6). Dosa tetap ada konsekuensi, dan Ananias beserta isterinya pun menjadi contoh bahwa Allah tidak main-main dalam menanggapi dosa. Dan hal inilah yang seharusnya membuat kita sadar bahwa Allah tidak membiarkan diri-Nya dpermainkan (bdk. Gal. 6:7).
Kejujuran sangat erat kaitannya dengan motivasi seseorang dalam berperilaku. Sebagai orang percaya, kejujuran mau tidak mau memaksa kita pribadi untuk memiliki motivasi yang benar didalam bertindak bagi sesama kita maupun dihadapan Allah. Kejujuran dan keterbukaan kita dalam hidup ini adalah salah satu contoh bahwa kita adalah orang-orang yang dikuduskan Allah. Jangan terlalu sering memakai topeng, mari kita lepas topeng kita masing-masing, dan hidup jujur sesuai dengan yang Allah kehendaki. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di sepanjang zaman.

Mari hidup jujur dihadapan Allah!
Mari hidup jujur ketika tiada seorang pun melihat!
Mari hidup jujur dihadapan sesama!
Dan ketika pun kita dicobai untuk hidup tidak jujur, Jangan Lupa untuk Hidup Jujur!

Jumat, 21 Oktober 2016

Menyangkal diri, Memikul salib, dan Mengikut Yesus (Refleksi Markus 8:31-38)

Setelah peristiwa pengakuan Petrus akan Yesus adalah Mesias, Anak Allah Yang Hidup (Mrk. 8:27-30; Mat. 16:13-20; Luk. 9:18-21), maka Yesus mulai mengajar. Ia mengajarkan bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, penolakan, bahkan kematian dan kebangkitan. Hal ini tentu saja kontras dengan pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias atau orang yang dinantikan akan membawa pemulihan bagi Kerajaan Israel, layaknya pada masa Daud seperti yang dinubuatkan nabi-nabi pada Perjanijan Lama (bdk. Yer.23:5&33:15; Mik. 5:1). Tentu kita akan sulit membayangkan seandainya seseorang yang kita yakini akan membawa perubahan menubuatkan bahwa dirinya akan menderita bahkan sampai mati. tentu ini adalah hal yang konyol.
Adalah suatu tindakan manusiawi kalau Petrus menarik Yesus dan menegur, bahkan dalam Matius 16:22, lebih terang Petrus berkata: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Kewajaran dari tindakan Petrus tampaknya tidak membuahkan hasil yang manis. Terang saja, Yesus menegur Petrus dengan sangat keras: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Keras sekali bukan? Jelas sekali seolah-olah Petrus tak lain dan tak bukan adalah Iblis, hal yang sangat kontras dengan respon Yesus pada pengakuan Petrus atas diri-Nya. Tentu Petrus bukanlah Iblis, karena ia adalah manusia biasa, hal tersebut dikarenakan Petrus tidak memikirkan apa yang Allah pikirkan melainkan apa yang manusia pikirkan.
Dan hal ini sering sekali menimpa orang-orang yang mengaku murid Kristus. Sering sekali pemikiran pribadi yang akhirnya kita lakukan, tanpa bertanya kepada Allah tentang apa yang Allah kehendaki. Dan sering sekali pula manusia berkutat pada keinginan diri hingga akhirnya terkesan mengabaikan Allah. Tentunya tidak salah mempunyai keinginan, dan tentunya manusia ingin yang terbaik bagi dirinya, tetapi hal tersebut tidak selalu sejalan dengan keinginan Allah. Maka kita perlu mengetahui apa yang Allah kehendaki melalui doa dan firman Allah.
Yesus pun melanjutkan apa yang diajarkan-Nya bahwa orang yang ingin menjadi murid-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Jikalau dipikir-pikir, hal ini sangat sulit dicapai, nampaknya Yesus menetapkan standar yang sangat tinggi. Tentu hal ini sedikit banyak menjadi faktor orang banyak meninggalkan kekristenan. Meskipun standard ini terlalu tinggi diterapkan, bukan berarti kita tidak menjalaninya, karena ini adalah anugerah yang Allah berikan. Berjalan bersama Yesus memikul salib yang harus kita pikul, menyangkal diri untuk kehendak Allah, mengikut Dia dengan penyerahan total. Kita akan membahas satu per satu dari syarat mengikut Yesus:
1)        Menyangkal Diri (NET: “Deny Himself”)
Menyangkal berarti ada proses penolakan atau meniadakan. Menyangkal diri berarti menolak diri, menolak segala keinginan diri dan menjadikan kehendak Allah yang terutama harus dilakuka. Sama seperti teladan Yesus yang mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba (Flp. 2:6-8). Seorang murid Kristus harus menyadari, ketika statusnya berubah menjadi anak Allah, berarti hidupnya bukan miliknya pribadi, melainkan milik Allah. Hidupnya bukan tentang dirinya lagi, melainkan tentang Kristus (Gal. 2:19b-20).
2)        Memikul Salib(NET: “Take up his cross”)
Salib merupakan lambang kebodohan bagi orang-orang yang akan binasa, tetapi Salib adalah hikmat Allah yang tertinggi bagi kita yang diselamatkan (1Kor. 1:18-25). Kata “memikul” mempunyai makna lebih dalam daripada kata “membawa”. Memikul identik dengan beban yang sangat berat yang harus dibawa dengan ditaruh diatas pundak. Maka tidak heran jikalau seorang teolog dari Jepang yaitu Kosuke Koyama menuliskan judul bukunya “Tidak Ada Gagang Pada Salib”. Salib bukanlah ember, koper, atau sesuatu yang dengan mudah kita dapat mengangkat dan menggenggamnya. Bahkan Kosuke Koyama mengatakn lebih lanjut bahwa Yesus tidak memikul salibnya seperti seorang pengusaha menenteng tasnya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh seorang teolog dari Jerman, yaitu Dietrich Bonhoeffer: “When Christ call a man, He bids him to come and die.” Maka tak heran, banyak sekali rasul dan murid-murid pada awal kekristenan yang mengalami penderitaan bahkan sampa mati martir. Penderitaan bukan dicari-cari, melainkan suatu keniscayaan yang akan didapat seorang Kristen. Orang Kristen pasti akan menderita, karena berani menjadi Kristen, berarti siap untuk mati bersama Kristus dan hidup bagi Allah (Flp. 1:21; Yoh. 15:20). Sekarang, mari kita hilangkan ke”aku”an dan mulailah bergerak aktif untuk memikul salib kita masing-masing.
3)        Mengikut Aku (NET: Follow Me)
Dalam mengikut, ada suatu bentuk aktif penyerahan diri terhadap figure yang kita ikuti. Mengikut Yesus berarti menyerahkan hidup kita di dalam Dia dan mempertaruhkan semuanya, bukan menjadi pemandu sorak yang hanya bisa berteriak dari pinggir lapangan, melainkan ikut bertanding bersama Dia di dalam lapangan tersebut. Mengikut Yesus berarti mempunyai keyakinan  bahwa Ia yang menjaga hidup kita hingga harinya kelak, kita hidup bersama-sama dengan Dia, dengan menatap muka (2Tim 1:12). Penyerahan diri yag total merupakan kunci dari mengikut Yesus.

Orang percaya atau murid Kristus tidak akan memusingkan dirinya untuk menyelamatkan nyawanya sendiri ketika penderitaan melanda, ia akan maju sesuai perintah Tuannya dan berlari dalam pertandingan iman hingga akhirnya kelak keselamatan dari Allah dirasakan sepenuhnya. Maka tidak heran Yesus berkata bahwa tidak ada gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, kalau pada akhirnya kehilangan nyawanya, karena nyawa tidak dapat diselamatkan oleh harta atau takhta yang kita peroleh di dunia ini, melainkan melalui darah Kristus yang mahal, yang tercurah pada kayu salib (1Pet. 2:18-19).
Ada harga yang tak ternilai untuk sebuah keselamatan, begitu juga ada harga yang mahal yang harus dibayar untuk menjadi seorang murid Kristus (penderitaan)  yang berbagian dalam Misi Allah bagi dunia ini.

Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan Lupa: Harapan Masih Ada!

Malam itu Bob dikejutkan oleh kabar buruk yang menimpanya. Adiknya telah berpulang ke rumah Bapa di sorga. Sontak air mata keluar deras membasahi pipinya. Ia tak kuasa untuk masuk ke dalam kamarnya. Pada malam itu, kamarnya ramai oleh kawan-kawan satu kostnya yang berkumpul bercengkrama satu sama lain. Ia hanya berdiri di balkon, menengadah ke langit dan berteriak dalam hati: “Tuhan apa maumu? Kenapa ini terjadi? Tuhan aku percaya kepada-Mu, tolong bangunkan dia.” Ia berteriak demikian sambil merasakan gejolak batin, di satu sisi ia berharap Tuhan melakukan mujizat, tetapi di sisi lain ia menyadari bahwa adiknya sudah tiada. “Tuhan terima kasih untuk kenangan 11 tahun bersama dirinya” ujar Bob memaksakan dirinya untuk bersyukur di tengah kemalangan ini. Malam itu terasa menyesakkan bagi dia, ia tidak dapat mengeluarkan air matanya lagi. Bahkan ketika teman-temannya datang untuk menghibur dia, ia pun tidak banyak bicara seperti sebelumnya, hanya diam dan menjawab seadanya, seakan-akan bagai orang yang tidak mempunyai harapan.
Esoknya ia pulang ke rumahnya, dengan berbekal seadanya, ia hanya ingin melihat adiknya untuk terakhir kalinya sebelum peti ditutup. Ia berangkat pukul 12.00 WIB dan sampai pukul 14.30 WIB, di luar sudah ada Toni yang menjemputnya. Toni adalah abang dari Bob, bukan abang kandung, melainkan abang karena ayah mereka bersaudara walaupun tidak sedarah, tetapi hubungan mereka sudah bisa dikatakan sebagai keluarga sedarah. Selama ini hanya Toni lah teman satu angkatan Bob, dan setiap Bob pulang ke rumah dari perantauan panjang, Toni selalu setia menemani Bob untu menikmati indahnya kota megapolitan (khususnya malam hari). “Ayok Bob, sini gua angkat tas lu” ujar Toni dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka menuju parkiran motor dan langsung berangkat menuju rumah duka di samping gereja. Seketika sampai, semua langsung menyambut Bob dengan isak tangis. Bob hanya dia, setetes air mata pun tidak jatuh membasahi pipinya, ia menyantuh muka adiknya untuk terakhir kalinya, sambil memeluk ibunya yang menangis tersedu-sedu melihat kedatangannya.
“Lihat adikmu ini, mang (sebutan khas orang batak)” sambil menangis ibunya berkata. “iya ma, jangan nangis mama, adik sudah tenang bersama Tuhan” Bob berkata sambil menguatkan dirinya sendiri. Waktu terus berjalan dan peti pun ditutup, semua berangkat menuju tempat pemakaman. Sesampainya disana, semua orang bergegas menuju tanah yang sudah digali yang siap menerima kedatangan tubuh yang terbujur kaku, disanalah ia akan dimakamkan. Nyayian puji-pujian dilantukan, renungan dibacakan, isak tangis terus menghiasi hari itu, terkecuali dengan apa yang dialami Bob, setetes air mata belum keluar dari matanya. Peti sudah dimasukkan dan tanah sudah menutupnya, tetapi air mata sebagian orang tetap mengucur deras. Akhirnya semua pulang ke rumah masing-masing, Toni terus memerhatikan Bob. “Lu kenapa Bob, gue serem liat lu, gak ada nangis daritadi” Toni nyeletuk. Bob hanya tersenyum kecut, ia berujar dalam hati “kau tidak merasakannya”. Sebagian orang menemani keluarga Bob di rumahnya hingga larut malam sambil bercerita tentang kebaikan adiknya dan rasa heran orang-orang disekitarnya atas kepergian adiknya yang terlalu cepat. Hari itu dilewati dengan suasana kabung.
Keesokan harinya, masih diwarnai dengan suasana yang sama. Ayah yang menangis ketika melihat foto anaknya yang sudah tiada, ibu yang menangis ketika mengumpulkan baju-baju anaknya yang akan diserahkan kepada teman-teman sepermainan Ferdi. Ya, nama adiknya Bob itu adalah Ferdi. Bob hanya mengerjakan tugasnya sebagai anak tertua, ia menghibur keluarganya di tengah-tengah suasana hatinya yang butuh dihiburkan juga. Hari demi hari kesedihan pun berkurang dengan keyakinan bahwa Ferdi telah senang berada di pangkuan Bapa di sorga. Mereka hanya mengingat dan belajar mengaminkan firman Tuhan bahwa Yesus menerima anak-anak di dalam Kerajaan Sorga. Meskipun kesedihan sudah berkurang, tetapi tidak bagi Bob, ia merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang bercampur-aduk kesedihan, kekosongan, keraguan, kehilangan harapan. Semuanya itu dialaminya.
Tiba waktunya Bob harus kembali ke tempat kuliahnya. Keluarganya mengantarkan sampai Bandara. “Lanjutkan cita-cita adikmu ya mang” Sang Ayah berpesan dengan mata yang berkaca-kaca. “Iya, Pak” jawab Bob. Keberangkatan Bob kembali ke tempat kuliahnya diiring dengan rasa pilu. Bob adalah mahasiswa semester akhir di salah satu universitas di pulau Sumatera. Sesampainya di bandara di daerah ia melanjutkan studinya. Ia pun bergegas ke tempat kostnya dan memberi kabar kepada keluarga bahwa ia telah sampai dengan selamat. Keesokan harinya ia ke kampus sambil membawa skripsi dan bertemu dosen untuk meminta persetujuan siding meja hijau. Dua minggu kemudian siding meja hijau dilaksanakan. Seperti biasa, ia memulai pagi dengan membaca alkitab dan berdoa diiringi permohonan bahwa Tuhan akan menyertainya pada saat sidang meja hijau belangsung. Benar saja, Bob melewati sidang meja hijau tersebut dengan baik dan dinyatakan lulus dan meraih gelar sarjana. Tak lupa ia mengucap syukur kepada Tuhan dan memberi kabar kepada orang tuanya. Ia merasakan sukacita disertai rasa hampa seakan semangat telah memudar.
Hari demi hari dan bulan demi bulan ia lalui dengan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya seakan hilang harapan, kekosongan, keraguan, kesedihan yang terus menemaninya sampai senyum seakan hilang dari wajahnya. Bahkan sampai kepada momen wisuda pun, ia masih tetap diselimuti perasaan demikian. Ia terus membaca alkitab dan berdoa, ikut persekutuan dan kelompok tumbuh bersama, tetapi tetap saja ia tak kuasa menahan perasaan itu yang membuat dirinya pun terbawa larut dalam perasaan tersebut. Ia seperti orang yang kebingungan seakan-akan tiada jalan lagi baginya untuk merasakan indahnya hadirat Tuhan. Ia merasakan Tuhan tidak ada disampingnya.
Hingga suatu waktu ia ikut dalam ibadah persekutuan alumni, sekaligus merayakan hari ulang tahun persekutuan tersebut. Ya, sebenarnya momen tersebut sangat ia hindari, tetapi apa daya, ia seakan tidak bisa menghindari acara tersebut. “ehh jadi ikut abang?” tanya Dani yang adalah juniornya di kampus. “iya nih, gak bisa ngelak aku” jawab Bob diiring tawa. Tibalah di tempat ibadah tersebut. Seperti biasa, ibadah dimulai dengan nyanyian puji-pujian dan khotbah yang dibawakan oleh Pembicara. Satu hari itu adalah momen berbeda dari ibadah biasanya, karena setelah ibadah masih ada acara lainnya (diskusi dan puncak perayaan serta refleksi). Semua berjalan dengan baik, tibalah di penghujung acara, yaitu momen refleksi untuk merenungkan apa yang telah dirasakan dan didapat satu hari tersebut. Bob berpikir bahwa momen ini akan terjadi seperti biasanya menulis di lembaran kertas dan berdoa. Dan sesuai dengan pemikiran Bob, demikianlah terlaksana.
Tetapi ada berbeda dirasakan oleh Bob, sepanjang setengah jam mereka diajak oleh Pembicara untuk merenungkan dan berdoa, hanya satu ayat alkitab yang diucapkan oleh pembicara tersebut. Dan kata-kata yang berasal dari ayat alkitab tersebutlah yang menjadi titik balik dari apa yang dirasakan Bob. “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama orang kudus dapat memahami, betapa panjangnya dan lebarnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Ef. 3:18-19). Dan ayat tersebutlah yang menjadi doanya setiap hari. Semakin hari ia mengalami ketenangan dan sukacita telah kembali.
Semua perasaan yang dialaminya (kehampaan, kesedihan, hilang semangat dan sukacita), yang membawanya seakan hilang harapan tersebut telah sirna. Ia kini mendapat harapan baru untuk menikmati Tuhan, harapan baru untuk hidup berbahagia di dalam Allah, harapan baru menjalankan panggilannya di masa depan bersama Allah. Terlebih ia belajar satu hal penting bahwa serumit apapun yang ia alami, bahkan kekosongan sekalipun akan hadirat Allah yang ia rasakan, pengharapan masih ada. Tangan Tuhan tetap terulur untuk menolong ia yang jatuh terlalu dalam dan memberikan secercah harapan yang gemilang bersama Tuhan. Ia tidak menampik bahwa beban dan cobaan terus akan datang, tetapi ia percaya bahwa pengharapan masih ada diiringi iman dan anugerah dari Allah. ~End~
~Hanya pada Allah saja aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.~
(Mazmur 62:6)

Kamis, 22 September 2016

Reaching the Vision (Refleksi Kisah Para Rasul 26)



Sebelum kita masuk kepada pembahasan kita akan mengulas sedikit tentang Visi Allah. Seperti yang kita tahu, visi adalah “penglihatan” , visi adalah tujuan jangka panjang pada umumnya. Kalau di perusahaan atau organisasi, kita akan melihat bahwa visi adalah tujuan jangka panjang atau hasil akhir yang diharapkan tercapai nantinya pada perusahaan atau organisasi tersebut. Begitu juga dengan visi Allah, yaitu penglihatan yang berasal dari Allah yang merupakan kegenapan karya-Nya bagi dunia ini, yaitu bahwa segala bangsa, segenap suku dan kaum dan bahasa berdiri di hadapan tahta Anak Domba dan menyembah-Nya (Why. 7:9-10). Dan karya itu telah digenapi melalui pengorbanan dan kebangkitan Yesus Kristus Tuhan kita, dan sekaranglah saatnya untuk memberitakan tentang keselamatan yang hanya ada pada Yesus. Dan hal inilah yang akan kita bahas melalui kitab Kisah Para Rasul 26. Let’s check it out!
Kitab ini adalah kitab yang ditulis oleh rekan sekerja Paulus yaitu Lukas, yang adalah seorang tabib. Hal ini dapat diketahui melalui awalan surat yang ditujukan kepada Teofilus yang sama halnya dengan awalan kitab Injil Lukas. Diperkirakan, kitab ini dituliskan antara tahun 80 dan 90 Masehi. Kitab ini adalah kitab yang menceritakan tentang kehidupan gereja mula-mula yang dipenuhi dengan cinta kasih dan Roh Kudus, sesudah Yesus naik ke surga. Para Rasul adalah murid-murid Yesus yang senantiasa bersama-sama dengan Yesus semasa hidup-Nya di dunia ini dan dipenuhi Roh Kudus yang dijanjikan (Kis. 2:4), mereka hidup bersama berbagi kasih dan memberitakan Injil dan disukai banyak orang dan diberkati Allah (Kis.2:41-47). Tetapi kitab ini tidak hanya menuliskan tentang kebahagiaan jemaat mula-mula, tetapi juga tentang penderitaan mereka ketika mengabarkan Kristusdi daerah Yerusalem, sebuah kota dimana penduduknya tahu bahwa Kristus telah disalibkan, dan kemungkinan besar adalah orang yang ikut menyalibkan Yesus. Banyak dari antara mereka yang menjadi percaya dan mengikut Yesus, tetapi banyak juga yang menentang, apalagi ahli-ahli taurat dan orang Farisi dan Saduki yang adalah orang yang sering menentang Yesus ada masa hidup-Nya (Kis. 5:17-18). Hingga awal penganiayaan terhadap jemaat mula-mula pun terjadi pada saat Stefanus yang adalah seorang yang penuh iman dan Roh Kudus (Kis. 6:5), dituduh oleh orang-orang Yahudi menghujat Allah (Kis. 6:11), dan akhirnya ia harus mati dirajam batu dengan kemenangan yang indah yang boleh ia peroleh menjelang kematiannya sambil berdoa menengadah ke langit (Kis. 7:54-60). Itulah awal penderitaan jemaat mula-mula yang dituliskan oleh Lukas pada kitab ini.
Terpujilah Tuhan untuk karya dan rencana-Nya, pada saat kematian Stefanus,ada seorang yang akan Tuhan pakai secara luar biasa untuk menyatakan karya-Nya di dunia ini. Yaitu Saulus  yang adalah seorang yang terlahir dan terdidik dalam lingkungan orang Yahudi, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, orang Farisi (Fil. 3:5), orang yang begitu tahu tentang hukum taurat yang pekerjaannya adalah penganiaya jemaat, sampai-sampai ia minta surat kepada Imam Besar untuk menganiaya jemaat di Damsyik (Kis. 9:2). Dan dalam perjalanan ke Damsyik, ia harus jatuh tersungkur dan rebah ke tanah karena cahaya yang sangat terang muncul dihadapannya dan ia mendengar suara Yesus yang menyatakan diri dihadapannya , ia buta, dipulihkan dan bertobat, dan menjadi pemberita Injil bagi bangsa non Yahudi. Ia pergi ke banyak kota di luar Yerusalem dan akhirnya kembali ke Yerusalem (Kis. 21:17), dan disitu ia mengadakan pentahiran diri bersama-sama orang percaya lainnya (Kis. 21:26) dan setelah 7 hari hampir berakhir, ia ditangkap oleh orang Yahudi dari Asia Kecil yang menghasut orang Yahudi di Yerusalem yang mengatakan bahwa Paulus menentang hukum taurat (Kis. 21:27-28). Hingga pada akhirnya sidang demi sidang dilalui, dan sampailah ia di hadapan raja Agripa untuk menyatakan pembelaannya dihadapan raja tersebut, bahwa ia tidak bersalah dan tidak mengajarkan yang sesat dan tidak menghujat Allah.
            Siapakah raja Agripa?
            Raja Agripa adalah anak dari raja Herodes yang dilahirkan kira-kira pada tahun 27 M. Raja ini yang menikahi saudara kandungnya sendiri yang bernama Bernike. Dia adalah raja daerah Filipud dan Lisias tahun 53 M, dan pernah menjadi pengawas kenisah di Yerusalem tahun 49 M. Dan karena hidupnya sudah jadi batu sandungan, ia belajar taurat Yahudi, agar hidupnya bisa dilihat orang dan tidak menjadi sandungan. Ia raja yang suka dengan popularitas.
Dan kepada raja itulah, Paulus harus berhadapan dan menyatakan pembelannya. Dan Paulus menyatakannya dengan keramahan bukan kemarahan, ia adalah seorang yang santun dan penuh kasih karunia. Ia menyatakan kebahagiaannya karena diperkenankan untuk memberi pertanggungjawaban atas tuduhan orang Yahudi kepadanya, dan ia meminta kepada raja untuk mendengarkannya dengan sabar (ay. 1-3). Sungguh suatu salam pembuka yang hangat penuh hikmat dan kesabaran oleh kasih Tuhan yang dirasakannya. Karena ia tahu bahwa inilah kesempatan untuk dia bisa bercerita tentang kisahnya yang diliputi oleh kasih Allah.
Dan Paulus mulai bercerita, bahwa semua orang Yahudi sudah tahu tentang kisah hidupnya, sejak masa mudanya. “Aku adalah seorang Farisi dengan mazhab yang paling keras”, kata Paulus. Dan sekarang, aku dituduh dan harus menghadap pengadilan karena aku mengharapkan janji Allah tentang kebangkitan orang mati, yang sudah kita percaya dari kedua belas suku kita. Jadi, mengapa sulit percaya kalau Allah membangkitkan orang mati?, Paulus menambahkan (ay. 4-8).
Paulus mulai ke inti permasalahan , yaitu tentang kebangkitan, yang seharusnya tidak menjadi permasalahan karena orang Farisi percaya kepada kebangkitan orang mati. Ya, Farisi percaya tentang kebangkitan orang mati, berbeda dengan Saduki yang tidak mempercayai kebangkitan orang mati (Mat. 22:23-33). Paulus bertanya dengan keras: “Mengapa kita anggap mustahil kalau Allah bisa membangkitkan orang mati?” , yang secara tidak langsung berkata: “Mengapa tidak percaya kalau Yesus bangkit?”
Sebenarnya pun dahulu, aku adalah salah satu orang yang paling keras menentang nama Yesus dari Nazaret, bahkan bukan sampai disitu saja, aku juga setuju jika pengikut Yesus itu pun dihukum mati, makanya aku sering masuk rumah ibadat dan menyiksa mereka, menyuruh mereka menyangkal imannya, bahkan mengejar mereka sampai kota-kota asing (ay.9-11).
Paulus mulai bersaksi tentang kehidupannya dahulu, tentu kita tidak menyangkal bahwa dia adalah layaknya orang gila yang sangat sadis yang suka bunuh pengikut Kristus (Flp. 3:6a). Tapi disinilah kerendahan hati Paulus bisa terlihat, karena dia menyadari bahwa hidupnya dahulu adalah hidup yang kotor, najis dan berdosa, dan dia menyadari hanya oleh kasih karunia lah dia bisa menceritakan tentang hidupnya yang kotor tersebut.
Paulus melanjutkan dalam keadaan yang seperti itu, dengan kuasa penuh untuk membunuh pengikut Kristus di Damsyik. Tiba-tiba di tengah jalan itu aku melihat cahaya yang sangat terang turun dari langit dan itu yang membuatku rebah , lalu aku mendengar ada suara yang berkata: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” akan sulit bagimu menendang ke galah rangsang (ay.12-14).
Paulus dengan lugas dan penuh kejujuran dengan tidak menambah-nambahkan apa yang dialaminya berkata dan bersaksi tentang hidupnya. Ia dibutakan dan dipulihkan, dan pasti sulit untuk mengelak atau lari dari panggilan Tuhan dan Paulus mengalami hal demikian (Kis. 9:1-19a).
Saat itulah aku bertanya: “Siapakah Engkau Tuhan?”, Maka kata Tuhan: “Akulah Yesus yang kau aniaya itu, tapi sekarang bangunlah dan berdirilah karena Aku (Yesus) menetapkan engkau menjadi pelayan dan saksi tentag segala sesuatu yang telah kau lihat dari pada-Ku dan tentang yang Kuperlihatkan padamu nanti. Aku mengkhususkan engkau untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain agar mata mereka terbuka dan mereka berbalik dari kegelapan Iblis kepada terang Allah, dan mereka peroleh iman dan pengampunan dosa dan dapat bagian yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan.”
Sebab itu ya, raja Agripa, terhadap penglihatan yang dari surga itu, tidak pernah aku tidak taat (ay.15-19).
Dengan kuasa penuh dari Roh Kudus dan dihadapan para saksi dan raja Agripa, Pausul menceritakan pertobatannya siapa Yesus yang menyatakan diri-Nya kepada Paulus. Paulus dengan tegarnya berani memberitakan Injil dihadapan mereka dan berani mengklaim bahwa dirinya tidak pernah tidak taat terhadap penglihatan yang Yesus nyatakan kepadanya. Dia tidak pernah tidak taat kepada visi Allah. Dia menyadari bahwa dirinya diselamatkan oleh karena Anugerah.
Ia menambahkan, mula-mula aku beritakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem, di Yudea, dan bangsa-bangsa lain, bahwa mereka haru bertobat an kembali kepada Allah dan melakukan pekerjaan sesuai pertobatan itu. Karena itulah maka aku ditangkap dan aku hampir dibunuh. Tetapi karena pertolongan Allah, aku masih bisa hidup sampai sekarang dan memberi kesaksian tentang mesias yang harus menderita sengsara, mati, dan bangkit dari antara orang mati (ay.20-23).
Paulus menjelaskan bahwa untuk menjalankan visi itu memang sulit dan pasti akan ada penderitaan yang dialami, tetapi Paulus mengucapkan penghiburan dan peneguhan yang sangat menggugah bahwa dalam kondisi terdesak pun, Allah tetap menyertai. Ini selaran dengan janji Tuhan Yesus akan penyertaannya sampai akhir zaman (Mat. 28:20).
Di tengah suasana sidang yang mulai meresahkan, sementara Paulus masih mempertanggungjawabkan pembelaannya, berteriaklah Festus dan berkata: “Engkau gila, Paulus. Ilmumu yang banyak itu membuatmu gila”. Dan Paulus dengan berani membantah: “Aku tidak gila , Festus yang mulia! Aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang sehat! Dan aku yakin bahwa raja juga tahu tentang segala perkara ini, karena perkara ini tidak terjadi di tempat terpencil. Lalu Paulus bertanya pada Agripa: “Percayakah engkau pada para nabi?” aku yakin kau percaya. Jawab Agripa: “hampir-hampir saja kau yakinkan aku menjadi seorang Kristen!”
Adalah hal yang wajar kalau Festus berkata demikian karena dia tidak pernah merasakan kasih Kristus. Tapi Paulus tetap menghadap raja Agripa dan memberitakan Injil kepada raja yang mengetahui taurat dan adat istiadat Yahudi tersebut, dan suatu pernyataan yang hebat keluar dari mulut raja tersebut kalau hampir saja ia yakin menjadi seorang Kristen. Raja yang gemar popularitas itu hampir membungkukkan badannya kehadapan Raja diatas segala raja.
Lagi Paulus menunjukkan iman pengharapannya: “Aku berdoa, supaya bukan engkau saja tetapi semua orang disini menjadi sama seperti aku kecuali belenggu ini.”
Iman dan pengharapan yang sangat jelas, dengan itu Paulus mengucapkan doa bahwa semua yang ada disitu akan percaya dan memberitkan Injil.
Lalu Agripa, Bernike, dan Festus keluar untuk berdiskusi, mereka tidak mendapati kesalahan Paulus , bahkan sebelum naik banding pun, dia sudah boleh dilepaskan. Dibalik itu semua tersimpan kemenangan yang besar, yaitu ketika semua orang yang mengadili Paulus, mendengarkan Injil yang disampaikannya oleh kuasa Roh Kudus.
Dari sinilah kita belajar bahwa penglihatan itu menggerakan Paulus untuk melakukan misi Allah bagi dunia. Paulus telah menangkap visi itu dan dia menjalankannya dengan penuh kerelaan hati menyerahkan seluruh hidupnya untuk dituntun oleh Roh Kudus untuk memberitakan Injil melalui perkataan dan perbuatannya. Kiranya hati kita pun digerakkan oleh Allah untuk mengerjakan visi Allah, sehingga kita bertumbuh dan orang lain mengenal Yesus dan hidup bagi Yesus. Maka benarlah, Bumi penuh dengan Kemuliaan Allah.
Allah menggerakkan orang-orang yang dipilih-Nya untuk berkarya bagi kemuliaan nama-Nya.
Bagaimana dengan kita? Siapkah kita dipakai Tuhan? Siapkah kita memberitakan kebenaran?
Melihat Visi dengan mata Iman, Mengimani Visi dengan Pengharapan, Mengerjakan Visi dengan Kasih

Soli Deo Gloria

Referensi Terkait: Swindoll, Charles R, 2004.PAULUS:Seorang yang penuh kasih karunia dan tegar, Terjemahan PAUL:A Man of Grace and Grit, Nafiri Gabriel, Jakarta.

Selasa, 13 September 2016

Jangan Lupa Berbuat Baik (Refleksi Galatia 6:1-10)





 Nah, sekarang kita akan membahas tentang “Berbuat Baik”, dalam series Jangan Lupa. Sebelum masuk pada inti bahasan, kita harus tahu dulu apa itu berbuat baik. Semua pasti tahu, tanpa diajarkan sekalipun kita akan tahu maksud dari pernyataan berbuat baik, karena mungkin itu adalah

Rabu, 07 September 2016

Belajar dari Film Animasi: Zootopia



Sebuah film animasi yang dirilis oleh Walt Disney yang adalah perusahaan raksasa di bidang media dan hiburan, yang sudah banyak merilis film-film dan media hiburan yang menghasilkan penjualan-penjualan terbesar di seluruh dunia. Film yang merupakan

Senin, 05 September 2016

Lestari Alamku



Lestari alamku...
Lestari desaku...
Dimana Tuhanku menitipkan aku

Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa

Damai saudaraku, suburlah bumiku
Kuingat ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang jaya nusantara lama
Tentram kartaraharja disana

Masih ingat dengan sepenggal lirik lagu ini?

Sabtu, 03 September 2016

Terima Kasih



Berterima kasihlah pada burung yang berkicau menambah semarak alam di pagi hari

Sabtu, 23 Juli 2016

Jangan Lupa Mengasihi (I Want To Know What Love Is)





“I want to know what love is
I know you can show me
I want to feel what love is
I know you can show me”

Masih ingat dengan lagu diatas?

Bocah-bocah

Bocah-bocah menari diatas padang rumput

Minggu, 17 Juli 2016

Jangan Lupa Memberi



 Setiap orang di dunia ini pasti tidak akan menolak jika diberikan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Apalagi sesuatu itu diberikan oleh seseorang yang sangat berharga, hehehe. Setiap pemberian yang kita terima pasti menghasilkan kesenangan, kelegaan, kegembiraan yang besar bagi diri kita. Tetapi

Kamis, 14 Juli 2016

Jangan Lupa Bahagia





Setiap insan pasti tau arti bahagia. Bukan hanya tau tapi selalu ingin merasakan itu. Selalu? Ya, S.E.L.A.L.U... wahh kok bisa ya?

Bukan Impianku Lagi





Setiap orang punya impian di dalam hidupnya. Bahkan sampai ada pepatah mengatakan “Raihlah impianmu sampai setinggi langit

Selasa, 05 Juli 2016

Dimanakah Pengharapanku?

Dunia yang semakin mapan

Character Study "NEHEMIAH"



CHARACTER STUDY
NEHEMIAH

Pengantar
Nehemia (Bhs. Ibr: Yahwe menghibur), adalah putra Hakhalya (Neh. 1:1). Dia adalah seorang juru minuman raja Persia di puri Susan (Neh. 1:11). Situasi pada masa itu adalah situasi dimana bangsa Yehuda mengalami masa pembuangan. Dimulai saat pemerintahan Yoyakim, oleh karena dosa bangsa itu Allah mengizinkan bangsa Babel menjajah bangsa Israel (2 Raj. 24), begitu juga hingga zaman Zedekia, Bait Allah dan tembok Yerusalem dibakar