Jumat, 21 Oktober 2016

Menyangkal diri, Memikul salib, dan Mengikut Yesus (Refleksi Markus 8:31-38)

Setelah peristiwa pengakuan Petrus akan Yesus adalah Mesias, Anak Allah Yang Hidup (Mrk. 8:27-30; Mat. 16:13-20; Luk. 9:18-21), maka Yesus mulai mengajar. Ia mengajarkan bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, penolakan, bahkan kematian dan kebangkitan. Hal ini tentu saja kontras dengan pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias atau orang yang dinantikan akan membawa pemulihan bagi Kerajaan Israel, layaknya pada masa Daud seperti yang dinubuatkan nabi-nabi pada Perjanijan Lama (bdk. Yer.23:5&33:15; Mik. 5:1). Tentu kita akan sulit membayangkan seandainya seseorang yang kita yakini akan membawa perubahan menubuatkan bahwa dirinya akan menderita bahkan sampai mati. tentu ini adalah hal yang konyol.
Adalah suatu tindakan manusiawi kalau Petrus menarik Yesus dan menegur, bahkan dalam Matius 16:22, lebih terang Petrus berkata: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Kewajaran dari tindakan Petrus tampaknya tidak membuahkan hasil yang manis. Terang saja, Yesus menegur Petrus dengan sangat keras: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Keras sekali bukan? Jelas sekali seolah-olah Petrus tak lain dan tak bukan adalah Iblis, hal yang sangat kontras dengan respon Yesus pada pengakuan Petrus atas diri-Nya. Tentu Petrus bukanlah Iblis, karena ia adalah manusia biasa, hal tersebut dikarenakan Petrus tidak memikirkan apa yang Allah pikirkan melainkan apa yang manusia pikirkan.
Dan hal ini sering sekali menimpa orang-orang yang mengaku murid Kristus. Sering sekali pemikiran pribadi yang akhirnya kita lakukan, tanpa bertanya kepada Allah tentang apa yang Allah kehendaki. Dan sering sekali pula manusia berkutat pada keinginan diri hingga akhirnya terkesan mengabaikan Allah. Tentunya tidak salah mempunyai keinginan, dan tentunya manusia ingin yang terbaik bagi dirinya, tetapi hal tersebut tidak selalu sejalan dengan keinginan Allah. Maka kita perlu mengetahui apa yang Allah kehendaki melalui doa dan firman Allah.
Yesus pun melanjutkan apa yang diajarkan-Nya bahwa orang yang ingin menjadi murid-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Jikalau dipikir-pikir, hal ini sangat sulit dicapai, nampaknya Yesus menetapkan standar yang sangat tinggi. Tentu hal ini sedikit banyak menjadi faktor orang banyak meninggalkan kekristenan. Meskipun standard ini terlalu tinggi diterapkan, bukan berarti kita tidak menjalaninya, karena ini adalah anugerah yang Allah berikan. Berjalan bersama Yesus memikul salib yang harus kita pikul, menyangkal diri untuk kehendak Allah, mengikut Dia dengan penyerahan total. Kita akan membahas satu per satu dari syarat mengikut Yesus:
1)        Menyangkal Diri (NET: “Deny Himself”)
Menyangkal berarti ada proses penolakan atau meniadakan. Menyangkal diri berarti menolak diri, menolak segala keinginan diri dan menjadikan kehendak Allah yang terutama harus dilakuka. Sama seperti teladan Yesus yang mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba (Flp. 2:6-8). Seorang murid Kristus harus menyadari, ketika statusnya berubah menjadi anak Allah, berarti hidupnya bukan miliknya pribadi, melainkan milik Allah. Hidupnya bukan tentang dirinya lagi, melainkan tentang Kristus (Gal. 2:19b-20).
2)        Memikul Salib(NET: “Take up his cross”)
Salib merupakan lambang kebodohan bagi orang-orang yang akan binasa, tetapi Salib adalah hikmat Allah yang tertinggi bagi kita yang diselamatkan (1Kor. 1:18-25). Kata “memikul” mempunyai makna lebih dalam daripada kata “membawa”. Memikul identik dengan beban yang sangat berat yang harus dibawa dengan ditaruh diatas pundak. Maka tidak heran jikalau seorang teolog dari Jepang yaitu Kosuke Koyama menuliskan judul bukunya “Tidak Ada Gagang Pada Salib”. Salib bukanlah ember, koper, atau sesuatu yang dengan mudah kita dapat mengangkat dan menggenggamnya. Bahkan Kosuke Koyama mengatakn lebih lanjut bahwa Yesus tidak memikul salibnya seperti seorang pengusaha menenteng tasnya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh seorang teolog dari Jerman, yaitu Dietrich Bonhoeffer: “When Christ call a man, He bids him to come and die.” Maka tak heran, banyak sekali rasul dan murid-murid pada awal kekristenan yang mengalami penderitaan bahkan sampa mati martir. Penderitaan bukan dicari-cari, melainkan suatu keniscayaan yang akan didapat seorang Kristen. Orang Kristen pasti akan menderita, karena berani menjadi Kristen, berarti siap untuk mati bersama Kristus dan hidup bagi Allah (Flp. 1:21; Yoh. 15:20). Sekarang, mari kita hilangkan ke”aku”an dan mulailah bergerak aktif untuk memikul salib kita masing-masing.
3)        Mengikut Aku (NET: Follow Me)
Dalam mengikut, ada suatu bentuk aktif penyerahan diri terhadap figure yang kita ikuti. Mengikut Yesus berarti menyerahkan hidup kita di dalam Dia dan mempertaruhkan semuanya, bukan menjadi pemandu sorak yang hanya bisa berteriak dari pinggir lapangan, melainkan ikut bertanding bersama Dia di dalam lapangan tersebut. Mengikut Yesus berarti mempunyai keyakinan  bahwa Ia yang menjaga hidup kita hingga harinya kelak, kita hidup bersama-sama dengan Dia, dengan menatap muka (2Tim 1:12). Penyerahan diri yag total merupakan kunci dari mengikut Yesus.

Orang percaya atau murid Kristus tidak akan memusingkan dirinya untuk menyelamatkan nyawanya sendiri ketika penderitaan melanda, ia akan maju sesuai perintah Tuannya dan berlari dalam pertandingan iman hingga akhirnya kelak keselamatan dari Allah dirasakan sepenuhnya. Maka tidak heran Yesus berkata bahwa tidak ada gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, kalau pada akhirnya kehilangan nyawanya, karena nyawa tidak dapat diselamatkan oleh harta atau takhta yang kita peroleh di dunia ini, melainkan melalui darah Kristus yang mahal, yang tercurah pada kayu salib (1Pet. 2:18-19).
Ada harga yang tak ternilai untuk sebuah keselamatan, begitu juga ada harga yang mahal yang harus dibayar untuk menjadi seorang murid Kristus (penderitaan)  yang berbagian dalam Misi Allah bagi dunia ini.

Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan Lupa: Harapan Masih Ada!

Malam itu Bob dikejutkan oleh kabar buruk yang menimpanya. Adiknya telah berpulang ke rumah Bapa di sorga. Sontak air mata keluar deras membasahi pipinya. Ia tak kuasa untuk masuk ke dalam kamarnya. Pada malam itu, kamarnya ramai oleh kawan-kawan satu kostnya yang berkumpul bercengkrama satu sama lain. Ia hanya berdiri di balkon, menengadah ke langit dan berteriak dalam hati: “Tuhan apa maumu? Kenapa ini terjadi? Tuhan aku percaya kepada-Mu, tolong bangunkan dia.” Ia berteriak demikian sambil merasakan gejolak batin, di satu sisi ia berharap Tuhan melakukan mujizat, tetapi di sisi lain ia menyadari bahwa adiknya sudah tiada. “Tuhan terima kasih untuk kenangan 11 tahun bersama dirinya” ujar Bob memaksakan dirinya untuk bersyukur di tengah kemalangan ini. Malam itu terasa menyesakkan bagi dia, ia tidak dapat mengeluarkan air matanya lagi. Bahkan ketika teman-temannya datang untuk menghibur dia, ia pun tidak banyak bicara seperti sebelumnya, hanya diam dan menjawab seadanya, seakan-akan bagai orang yang tidak mempunyai harapan.
Esoknya ia pulang ke rumahnya, dengan berbekal seadanya, ia hanya ingin melihat adiknya untuk terakhir kalinya sebelum peti ditutup. Ia berangkat pukul 12.00 WIB dan sampai pukul 14.30 WIB, di luar sudah ada Toni yang menjemputnya. Toni adalah abang dari Bob, bukan abang kandung, melainkan abang karena ayah mereka bersaudara walaupun tidak sedarah, tetapi hubungan mereka sudah bisa dikatakan sebagai keluarga sedarah. Selama ini hanya Toni lah teman satu angkatan Bob, dan setiap Bob pulang ke rumah dari perantauan panjang, Toni selalu setia menemani Bob untu menikmati indahnya kota megapolitan (khususnya malam hari). “Ayok Bob, sini gua angkat tas lu” ujar Toni dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka menuju parkiran motor dan langsung berangkat menuju rumah duka di samping gereja. Seketika sampai, semua langsung menyambut Bob dengan isak tangis. Bob hanya dia, setetes air mata pun tidak jatuh membasahi pipinya, ia menyantuh muka adiknya untuk terakhir kalinya, sambil memeluk ibunya yang menangis tersedu-sedu melihat kedatangannya.
“Lihat adikmu ini, mang (sebutan khas orang batak)” sambil menangis ibunya berkata. “iya ma, jangan nangis mama, adik sudah tenang bersama Tuhan” Bob berkata sambil menguatkan dirinya sendiri. Waktu terus berjalan dan peti pun ditutup, semua berangkat menuju tempat pemakaman. Sesampainya disana, semua orang bergegas menuju tanah yang sudah digali yang siap menerima kedatangan tubuh yang terbujur kaku, disanalah ia akan dimakamkan. Nyayian puji-pujian dilantukan, renungan dibacakan, isak tangis terus menghiasi hari itu, terkecuali dengan apa yang dialami Bob, setetes air mata belum keluar dari matanya. Peti sudah dimasukkan dan tanah sudah menutupnya, tetapi air mata sebagian orang tetap mengucur deras. Akhirnya semua pulang ke rumah masing-masing, Toni terus memerhatikan Bob. “Lu kenapa Bob, gue serem liat lu, gak ada nangis daritadi” Toni nyeletuk. Bob hanya tersenyum kecut, ia berujar dalam hati “kau tidak merasakannya”. Sebagian orang menemani keluarga Bob di rumahnya hingga larut malam sambil bercerita tentang kebaikan adiknya dan rasa heran orang-orang disekitarnya atas kepergian adiknya yang terlalu cepat. Hari itu dilewati dengan suasana kabung.
Keesokan harinya, masih diwarnai dengan suasana yang sama. Ayah yang menangis ketika melihat foto anaknya yang sudah tiada, ibu yang menangis ketika mengumpulkan baju-baju anaknya yang akan diserahkan kepada teman-teman sepermainan Ferdi. Ya, nama adiknya Bob itu adalah Ferdi. Bob hanya mengerjakan tugasnya sebagai anak tertua, ia menghibur keluarganya di tengah-tengah suasana hatinya yang butuh dihiburkan juga. Hari demi hari kesedihan pun berkurang dengan keyakinan bahwa Ferdi telah senang berada di pangkuan Bapa di sorga. Mereka hanya mengingat dan belajar mengaminkan firman Tuhan bahwa Yesus menerima anak-anak di dalam Kerajaan Sorga. Meskipun kesedihan sudah berkurang, tetapi tidak bagi Bob, ia merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang bercampur-aduk kesedihan, kekosongan, keraguan, kehilangan harapan. Semuanya itu dialaminya.
Tiba waktunya Bob harus kembali ke tempat kuliahnya. Keluarganya mengantarkan sampai Bandara. “Lanjutkan cita-cita adikmu ya mang” Sang Ayah berpesan dengan mata yang berkaca-kaca. “Iya, Pak” jawab Bob. Keberangkatan Bob kembali ke tempat kuliahnya diiring dengan rasa pilu. Bob adalah mahasiswa semester akhir di salah satu universitas di pulau Sumatera. Sesampainya di bandara di daerah ia melanjutkan studinya. Ia pun bergegas ke tempat kostnya dan memberi kabar kepada keluarga bahwa ia telah sampai dengan selamat. Keesokan harinya ia ke kampus sambil membawa skripsi dan bertemu dosen untuk meminta persetujuan siding meja hijau. Dua minggu kemudian siding meja hijau dilaksanakan. Seperti biasa, ia memulai pagi dengan membaca alkitab dan berdoa diiringi permohonan bahwa Tuhan akan menyertainya pada saat sidang meja hijau belangsung. Benar saja, Bob melewati sidang meja hijau tersebut dengan baik dan dinyatakan lulus dan meraih gelar sarjana. Tak lupa ia mengucap syukur kepada Tuhan dan memberi kabar kepada orang tuanya. Ia merasakan sukacita disertai rasa hampa seakan semangat telah memudar.
Hari demi hari dan bulan demi bulan ia lalui dengan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya seakan hilang harapan, kekosongan, keraguan, kesedihan yang terus menemaninya sampai senyum seakan hilang dari wajahnya. Bahkan sampai kepada momen wisuda pun, ia masih tetap diselimuti perasaan demikian. Ia terus membaca alkitab dan berdoa, ikut persekutuan dan kelompok tumbuh bersama, tetapi tetap saja ia tak kuasa menahan perasaan itu yang membuat dirinya pun terbawa larut dalam perasaan tersebut. Ia seperti orang yang kebingungan seakan-akan tiada jalan lagi baginya untuk merasakan indahnya hadirat Tuhan. Ia merasakan Tuhan tidak ada disampingnya.
Hingga suatu waktu ia ikut dalam ibadah persekutuan alumni, sekaligus merayakan hari ulang tahun persekutuan tersebut. Ya, sebenarnya momen tersebut sangat ia hindari, tetapi apa daya, ia seakan tidak bisa menghindari acara tersebut. “ehh jadi ikut abang?” tanya Dani yang adalah juniornya di kampus. “iya nih, gak bisa ngelak aku” jawab Bob diiring tawa. Tibalah di tempat ibadah tersebut. Seperti biasa, ibadah dimulai dengan nyanyian puji-pujian dan khotbah yang dibawakan oleh Pembicara. Satu hari itu adalah momen berbeda dari ibadah biasanya, karena setelah ibadah masih ada acara lainnya (diskusi dan puncak perayaan serta refleksi). Semua berjalan dengan baik, tibalah di penghujung acara, yaitu momen refleksi untuk merenungkan apa yang telah dirasakan dan didapat satu hari tersebut. Bob berpikir bahwa momen ini akan terjadi seperti biasanya menulis di lembaran kertas dan berdoa. Dan sesuai dengan pemikiran Bob, demikianlah terlaksana.
Tetapi ada berbeda dirasakan oleh Bob, sepanjang setengah jam mereka diajak oleh Pembicara untuk merenungkan dan berdoa, hanya satu ayat alkitab yang diucapkan oleh pembicara tersebut. Dan kata-kata yang berasal dari ayat alkitab tersebutlah yang menjadi titik balik dari apa yang dirasakan Bob. “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama orang kudus dapat memahami, betapa panjangnya dan lebarnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Ef. 3:18-19). Dan ayat tersebutlah yang menjadi doanya setiap hari. Semakin hari ia mengalami ketenangan dan sukacita telah kembali.
Semua perasaan yang dialaminya (kehampaan, kesedihan, hilang semangat dan sukacita), yang membawanya seakan hilang harapan tersebut telah sirna. Ia kini mendapat harapan baru untuk menikmati Tuhan, harapan baru untuk hidup berbahagia di dalam Allah, harapan baru menjalankan panggilannya di masa depan bersama Allah. Terlebih ia belajar satu hal penting bahwa serumit apapun yang ia alami, bahkan kekosongan sekalipun akan hadirat Allah yang ia rasakan, pengharapan masih ada. Tangan Tuhan tetap terulur untuk menolong ia yang jatuh terlalu dalam dan memberikan secercah harapan yang gemilang bersama Tuhan. Ia tidak menampik bahwa beban dan cobaan terus akan datang, tetapi ia percaya bahwa pengharapan masih ada diiringi iman dan anugerah dari Allah. ~End~
~Hanya pada Allah saja aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.~
(Mazmur 62:6)