Setelah peristiwa
pengakuan Petrus akan Yesus adalah Mesias, Anak Allah Yang Hidup (Mrk. 8:27-30;
Mat. 16:13-20; Luk. 9:18-21), maka Yesus mulai mengajar. Ia mengajarkan bahwa Anak
Manusia harus menanggung banyak penderitaan, penolakan, bahkan kematian dan
kebangkitan. Hal ini tentu saja kontras dengan pengakuan Petrus bahwa Yesus
adalah Mesias atau orang yang dinantikan akan membawa pemulihan bagi Kerajaan
Israel, layaknya pada masa Daud seperti yang dinubuatkan nabi-nabi pada
Perjanijan Lama (bdk. Yer.23:5&33:15; Mik. 5:1). Tentu kita akan sulit
membayangkan seandainya seseorang yang kita yakini akan membawa perubahan
menubuatkan bahwa dirinya akan menderita bahkan sampai mati. tentu ini adalah
hal yang konyol.
Adalah suatu
tindakan manusiawi kalau Petrus menarik Yesus dan menegur, bahkan dalam Matius
16:22, lebih terang Petrus berkata: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu!
Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Kewajaran dari tindakan Petrus
tampaknya tidak membuahkan hasil yang manis. Terang saja, Yesus menegur Petrus
dengan sangat keras: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang
dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Keras sekali bukan?
Jelas sekali seolah-olah Petrus tak lain dan tak bukan adalah Iblis, hal yang
sangat kontras dengan respon Yesus pada pengakuan Petrus atas diri-Nya. Tentu
Petrus bukanlah Iblis, karena ia adalah manusia biasa, hal tersebut dikarenakan
Petrus tidak memikirkan apa yang Allah pikirkan melainkan apa yang manusia
pikirkan.
Dan hal ini sering
sekali menimpa orang-orang yang mengaku murid Kristus. Sering sekali pemikiran
pribadi yang akhirnya kita lakukan, tanpa bertanya kepada Allah tentang apa
yang Allah kehendaki. Dan sering sekali pula manusia berkutat pada keinginan
diri hingga akhirnya terkesan mengabaikan Allah. Tentunya tidak salah mempunyai
keinginan, dan tentunya manusia ingin yang terbaik bagi dirinya, tetapi hal
tersebut tidak selalu sejalan dengan keinginan Allah. Maka kita perlu
mengetahui apa yang Allah kehendaki melalui doa dan firman Allah.
Yesus pun
melanjutkan apa yang diajarkan-Nya bahwa orang yang ingin menjadi murid-Nya
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Jikalau dipikir-pikir,
hal ini sangat sulit dicapai, nampaknya Yesus menetapkan standar yang sangat
tinggi. Tentu hal ini sedikit banyak menjadi faktor orang banyak meninggalkan
kekristenan. Meskipun standard ini terlalu tinggi diterapkan, bukan berarti
kita tidak menjalaninya, karena ini adalah anugerah yang Allah berikan.
Berjalan bersama Yesus memikul salib yang harus kita pikul, menyangkal diri
untuk kehendak Allah, mengikut Dia dengan penyerahan total. Kita akan membahas
satu per satu dari syarat mengikut Yesus:
1)
Menyangkal Diri (NET: “Deny Himself”)
Menyangkal berarti ada proses
penolakan atau meniadakan. Menyangkal diri berarti menolak diri, menolak segala
keinginan diri dan menjadikan kehendak Allah yang terutama harus dilakuka. Sama
seperti teladan Yesus yang mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang
hamba (Flp. 2:6-8). Seorang murid Kristus harus menyadari, ketika statusnya
berubah menjadi anak Allah, berarti hidupnya bukan miliknya pribadi, melainkan
milik Allah. Hidupnya bukan tentang dirinya lagi, melainkan tentang Kristus
(Gal. 2:19b-20).
2)
Memikul Salib(NET: “Take up his cross”)
Salib merupakan lambang kebodohan bagi
orang-orang yang akan binasa, tetapi Salib adalah hikmat Allah yang tertinggi
bagi kita yang diselamatkan (1Kor. 1:18-25). Kata “memikul” mempunyai makna lebih
dalam daripada kata “membawa”. Memikul identik dengan beban yang sangat berat
yang harus dibawa dengan ditaruh diatas pundak. Maka tidak heran jikalau
seorang teolog dari Jepang yaitu Kosuke Koyama menuliskan judul bukunya “Tidak
Ada Gagang Pada Salib”. Salib bukanlah ember, koper, atau sesuatu yang dengan
mudah kita dapat mengangkat dan menggenggamnya. Bahkan Kosuke Koyama mengatakn
lebih lanjut bahwa Yesus tidak memikul salibnya seperti seorang pengusaha
menenteng tasnya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh seorang
teolog dari Jerman, yaitu Dietrich Bonhoeffer: “When Christ call a man, He bids him to come and die.” Maka tak
heran, banyak sekali rasul dan murid-murid pada awal kekristenan yang mengalami
penderitaan bahkan sampa mati martir. Penderitaan bukan dicari-cari, melainkan
suatu keniscayaan yang akan didapat seorang Kristen. Orang Kristen pasti akan
menderita, karena berani menjadi Kristen, berarti siap untuk mati bersama
Kristus dan hidup bagi Allah (Flp. 1:21; Yoh. 15:20). Sekarang, mari kita
hilangkan ke”aku”an dan mulailah bergerak aktif untuk memikul salib kita
masing-masing.
3)
Mengikut Aku (NET: Follow Me)
Dalam mengikut, ada suatu bentuk
aktif penyerahan diri terhadap figure yang kita ikuti. Mengikut Yesus berarti
menyerahkan hidup kita di dalam Dia dan mempertaruhkan semuanya, bukan menjadi
pemandu sorak yang hanya bisa berteriak dari pinggir lapangan, melainkan ikut
bertanding bersama Dia di dalam lapangan tersebut. Mengikut Yesus berarti
mempunyai keyakinan bahwa Ia yang
menjaga hidup kita hingga harinya kelak, kita hidup bersama-sama dengan Dia,
dengan menatap muka (2Tim 1:12). Penyerahan diri yag total merupakan kunci dari
mengikut Yesus.
Orang percaya atau murid Kristus tidak akan
memusingkan dirinya untuk menyelamatkan nyawanya sendiri ketika penderitaan
melanda, ia akan maju sesuai perintah Tuannya dan berlari dalam pertandingan
iman hingga akhirnya kelak keselamatan dari Allah dirasakan sepenuhnya. Maka tidak
heran Yesus berkata bahwa tidak ada gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia,
kalau pada akhirnya kehilangan nyawanya, karena nyawa tidak dapat diselamatkan
oleh harta atau takhta yang kita peroleh di dunia ini, melainkan melalui darah
Kristus yang mahal, yang tercurah pada kayu salib (1Pet. 2:18-19).
Ada harga yang tak ternilai untuk sebuah
keselamatan, begitu juga ada harga yang mahal yang harus dibayar untuk menjadi
seorang murid Kristus (penderitaan) yang
berbagian dalam Misi Allah bagi dunia ini.