Minggu, 14 Juli 2019

Berdiam dan Meyakini Kehendak Allah (Refleksi Matius 26:36-46)

Nas ini merupakan suatu rangkaian peristiwa malam terakhir sebelum Yesus disalibkan. Taman Getsemani itu menjadi saksi bisu akan kesedihan, ketakutan, penyerahan diri dalam diam, keheningan dan kegamangan  yang dialami oleh seorang pribadi perombak sejarah semesta ini. Sekaligus menjadi suatu tanda pengingat tetap bagi orang yang percaya pada-Nya untuk merenungkan makna akan apa yang dilakukan-Nya pasca peristiwa tersebut. Peristiwa yang bukan hanya mengguncang dunia dan menjadi perdebatan hingga hari ini, tapi lebih jauh daripada itu, yaitu peristiwa yang dapat merubah hati dan pikiran manusia yang mempercayai Pribadi tersebut.

Nas ini dimulai dengan kata-kata “maka sampailah…” yang berarti bahwa Ia (Yesus) berjalan dari suatu tempat dan menuju Getsemani (Lukas menyebutkan dalam bahwa Ia berjalan seperti biasanya---Luk. 22:39), tetapi ketiga Injil sinoptik menuliskan bahwa kejadian itu ditulis setelah perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya. Untuk Getsemani sendiri, tiada informasi jelas mengenai letak taman ini, tetapi yang pasti berada di sekitaran Bukit Zaitun (ay.30). Sesampainya, Yesus menyuruh sebagian besar murid-Nya untuk duduk dan Ia pergi untuk berdoa. Lukas mencatat bahwa pergi ke Bukit Zaitun adalah sebuah kebiasaan bagi Yesus yang artinya murid-murid-Nya pun tentu tak heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.

Menjadi sebuah keunikan bahwa Yesus memilih tiga orang murid untuk menemani-Nya ke tempat Ia berdoa. Ia sempat menceritakan kepada Petrus bahwa hati-Nya sangat sedih dan seperti mau mati rasanya. Tentu hal ini membuat sedikit banyak goncangan dalam hati dan pikiran ketiga murid tersebut, karena semenjak perjamuan malam, Yesus Sang Mesias yang diharapkan untuk membebaskan umat Israel terus saja berbicara tentang kematian dan kematian dan mungkin dalam hati, mereka terus bertanya apa yang akan terjadi setelahnya.

Dalam kegentaran dan kesedihan yang dialami-Nya,  Yesus meminta mereka untuk berjaga selagi Ia berdoa. Ia menunjukkan suatu hal yang indah dalam suasana hening yang mencekam, Ia yang adalah insan dan Ilahi mengambil suatu waktu khusus untuk berdiam, mencurahkan seluru isi hati-Nya pada Bapa. Dalam kegentaran, kerumitan, ketakutan, kesedihan yang dialami, Ia memilih berdiam, mendengar Bapa berbicara dan menyatakan kehendak-Nya (Bapa). Kesedihan dan kegentaran-Nya menjadi suatu bukti bagi kita bahwa Ia adalah Allah yang dekat,  yang turut merasakan ketakutan dan kegentaran yang sama sepeti yang kita alami, bahkan lebih daripada yang kita rasakan.

Satu hal kemudian, juga dalam keheningan, Ia meminta murid-Nya “berjaga”. Saya tidak tahu pasti apa yang menjadi tujuan Yesus meminta murid-Nya berjaga entah mencegah datangnya gangguan, saya tidak tahu persis. Tapi saya mendapat suatu perenungan pribadi bahwa jauh daripada itu Yesus meminta murid-murid (bahkan kita) agar kita tak hilang fokus atau luput daripada Tuhan dengan kata lain, jiwa kita terpaut dan bergantung hanya pada Dia, Allah Bapa kita di tengah segala realita yang memungkinkan kita untuk berbelok menjauh dari koridor Tuhan.

Satu hal yang menarik kemudian, dalam doa-Nya, Yesus berbicara: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Ku-kehendaki melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Dalam hening , Ia berdoa dan memohon dengan gentar “sekiranya mungkin…” suatu kata yang menunjukkan betapa ketakutan itu sangat kuat menekan diri Yesus, bahkan Lukas menyebutkan peluh-Nya seperti titik-titik darah, bahkan malaikat datang untuk memberi kekuatan kepada-Nya (Luk. 22:43-44), artinya ini bukan hal yang main-main, di dalam kata tersebut menunjukkan betapa mau tidak mau ada suatu harapan yang tidak dapat dicapai, suatu permohonan yang tidak terkabulkan. Permohonan akan lepas dari suatu ketakutan, penderitaan yang hebat dimana Ia mengalami keterpisahan total dengan Bapa ketika dosa-dosa manusia ditimpakan kepada-Nya, dimana Ia menjadi kutuk atas suatu kesalahan yang tidak pernah dibuat-Nya (Gal. 3:13), juga dimana Bapa menyembunyikan wajah-Nya dan meninggalkan-Nya (bdk. Mat. 27:46).

Cawan itu juga sekaligus membuka mata kita bahwa keterpisahan dari Allah menjadi suatu hal yang sangat mengerikan, yang membuat jiwa kita tersiksa, membuat kita seharusnya menyadari dan turut bersedih karena kita telah sangat jauh meninggalkan Allah karena dosa kita. Cawan itu juga yang menjadi salah satu dasar kita berharap bahwa Yesus mengalami sama bahkan lebih daripada yang kita alami sebagai manusia.

Selanjutnya kita melihat bahwa Ia berkata: “janganlah seperti yang Ku-kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” . Dalam kata ini setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pelajaran buat saya pribadi (mungkin bagi kita juga):

1)     Penerimaan
Yesus di dalam kegentaran dan kesedihannya dengan rendah hati menerima apa yang akan terjadi kedepan. Sekalipun menakutkan dan dapat dibayangkan betapa menderita-Nya, Ia menerima apapun yang terjadi. Ia menerima dalam suatu keyakinan penuh bahwa kehendak Bapa adalah yang terutam dan yang terbaik.

2)     Penyerahan Diri
“Jadilah kehendak-Mu…” menjadi kata umum yang dipakai khususnya orang Kristen dalam doa-doa yang dilantunkan setiap hari. Terlepas dari terdistorsinya makna kata ini karena sering digunakan (mungkin), kata ini juga menjadi suatu isyarat akan penyerahan diri dalam kehendak Allah, yanga berarti totalitas hidup kita bergantung pada Allah. Bukan berarti tidak bekerja dan tidak melakukan apa-apa, justru sebaliknya membuat kita bekerja bahkan melakukan apapun dengan giat karena ada suatu pengharapan akan janji penyertaan Allah yang memungkinkan kita menjalani hari tanpa kekuatiran akan masa kedepan.
   
3)     Pengharapan
“Jadilah kehendak-Mu…” juga menjadi suatu proklamasi iman. Bahwa apapun yang terjadi dalam hidup, kita dengan rendah hati menerimanya. Sekalipun sulit yang kita terima, tidak membuat kita lantas menyalahkan Tuhan dan sekalipun senang yang kita dapat, juga tak membuat kita lantas menjadi tinggi hati, karena itu adalah kemurahan hati Allah. Proklamasi itu menghantarkan kita pada suatu harapan dan keyakinan bahwa Ia menjaga apapun yang kita taruhkan hingga hari-Nya kelak

Sekali lagi, ungkapan “Jadilah kehendak-Mu…” ini menjadi ungkapan penerimaan, penyerahan diri, dan pengharapan Yesus dalam doa-Nya, bahwa sekalipun cawan itu ditimpakan, hal itu adalah kenyataan yang harus Ia terima dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Sekalipun takut, sedih, gentar, Ia menerima dengan penyerahan diri pada Bapa dalam kehendak-Nya, karena ia yakin bahwa misi-Nya bukan menjadi suatu misi yang sia-sia, karena banya orang yang dimenangkan oleh pemberitaan salib Kristus.

Dan menjadi suatu perhatian bagi kita, bahwa peristiwa ini bukan isapan jempol belaka, bukan peristiwa tanpa makna, karena kita dapat melihat bukti sampai tiga kali Ia berdoa mengucapkan hal yang sama. Peristiwa ini menjadi suatu peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia, bahwa Sang Agung harus mengalam kegentaran dan kesedihan, juga menjadi teladan dalam penerimaan atas realita yang akan terjadi karena keyakinan bahwa kehendak Bapa adalah yang terbaik. Peristiwa yang tidak hanya merubah arah sejarah sekaligus mengubah hati manusia sebagai pelaku sejarah yang percaya akan kematian dan kebangkitan-Nya.

Lantas, apa yang bisa saya lakukan terkait refleksi ini?

1)     Mengambil waktu khusus untuk berdiam
Dalam zaman yang super sibuk ini, mau tidak mau, energi kita akan terkuras banyak dan membuat kita dengan mudah menjadi hilang fokus akan tugas kita sebagai orang percaya. Sama seperti Yesus, mari ambil suatu waktu khusus untuk kita berdiam, berdoa, berbincang dan mencurahkan seluruh isi hati kita dengan merendahkan diri di hadapan Allah dan meminta diberi hati yang mau menerima realita sebagai bagian dari kehendak Allah untuk mengajari kita hidup di dalam Dia.

2)     Mengimani bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik
“Izinkan saya bercerita sedikit gambaran yang saya alami selepas lulus dari perguruan tinggi. Saya mempunyai cita-cita menjadi seorang pendeta di suatu gereja dan hal ini sudah sejak kecil saya cita-citakan dan baru saya mengerti mengapa saya bercita-cita demikian ketika menjadi mahasiswa dan dibina di kelompok kecil. Dalam kurun waktu enam tahun (sampai sekarang) saya tetap mendoakannya (walaupun ada masanya saya tidak taat mendoakannya). Selepas saya lulus dari perguruan tinggi, dengan keyakinan bahwa saya tidak mau merepotkan orang lain terlalu banyak untuk mencapai cita-cita saya (biasanya orang yang mau menjadi hamba Tuhan, mendapat bantuan dana dari donator-donatur), maka saya mencari kerja dengan suatu pandangan setidaknya saya punya modal juga untuk sekolah ke depan.

Saban hari saya melamar, saya banyak mengalami kegagalan, bahkan sampai tiga tahun saya banyak mengalami kegagalan, diperparah dengan kondisi semangat keluarga yang menurun drastis karena adik saya meninggal karena sakit sewaktu saya masih menyusun skripsi di medan. Sangat terasa bagaimana kacaunya hidup saya, kondisi jiwa saya tidak stabil, saya banya mempertanyakan ekesistensi saya sebagai manusia, dan  depresi? Ya saya mengalami, bahkan saya pernah menangis sambil berteriak “Kenapa saya alami hal ini?” Keluarga juga tidak tinggal diam, mereka menguatkan saya bahwa Tuhan pasti berikan yang terbaik. Lihat? Saya yang banyak belajar tentang Tuhan justru dikuatkan oleh keluarga saya yang tidak banyak membuka alkitab untuk dibaca. Peristiwa itu menjadi sebuah sentilan bagi saya, bahwa saya masih punya harapan walaupun keyakinan saya akan hal itu hanya secuil.

Dalam gamang yang saya alami, saya mencoba berdoa dalam tangis di kamar mandi, sekiranya Tuhan mau berbelas kasih dan memberi saya kekuatan serta iman untuk percaya bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik bagi saya. Bak gayung bersambut, singkat cerita, adik konseling saya menelpon dan bercerita bahwa dirinya sangat gelisah memikirkan saya dan hendak merekomendasikan saya menjadi seorang staff di suatu lembaga pelayanan. Saya pikir itu hanya perasaan dia semata saja, maka dengan enteng saya bilang: “ya sudah, bilang saja sama mereka”.

Lepas tiga bulan, seorang staff dari lembaga pelayanan tersebut menghubungi saya dan mengajak saya untuk bertemu, saya sontak kaget dan tak menyangka hal ini ternyata terjadi. Saat kami bertemu, saya ceritakan apa yang saya rindukan, saya ingin menjadi pemberita Firman. Tapi justru staff tersebut membukakan kondisi bahwa dibutuhkan staff kantor, selama sebulan saya berdoa, saya merasa Tuhan diam, suasana hening, saya tidak dapat mencerna apa yang Allah katakan dalam firman-Nya, karena sekali lagi seperti yang tidak saya harapkan. Tapi, entah kenapa dalam batin saya, terus berkata: “Kehendak-Nya yang terbaik, dan dia dapat memakai siapapun, situasi apapun untuk mengajari dan membentuk kita sesuai kehendak-Nya”. Dalam kesombongan saya dipaksa tunduk dan rendah hati, untuk mengimani dan menaati bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik, sehingga hal itu memampukan saya menerima tawaran tersebut. “

Dalam kata “iman” terkandung sikap penerimaan, penyerahan diri, dan pengharapan. Dalam zaman dimana ide-ide saling bertarung dengan menawarkan kebenarannya masing-masing, tak pelak kita berbagian dalam mengungkapkan ke-egois-an bahwa pendapat kita adalah yang paling benar. Dan bukan hanya itu, kita menuntut agar terus diperhatikan, kita ingin didengar. Kita mencintai diri kita lebih daripada Allah dan menjadikan diri kita pusat. Sulit bagi kita menerima hal yang tidak baik terjadi dalam hidup kita, sehingga menggerus iman kita, saban hari kita berdoa semau kita, asal membuat hati tenang dan meminta segala apapun yang sesuai dengan keinginan hati kita.

Yesus tidak hanya mengajar berdoa tetapi juga mengajar bahwa di dalam doa bukan hanya kehendak kita yang kita perdengarkan, tetapi kita harus juga mendengar dan menerima kehendak Allah. Dengan begitu, kehidupan kita sebagai orang percaya berbeda dengan orang lain yang menggantungkan hidup dan masa depannya pada kekuatannya sendiri, kita justru melihat dengan mata iman bahwa Allah yang menjadi landasan kita berharap, Ia juga yang merasakan apa yang kita rasakan dan turut menyertai kita sepanjang hidup kita.

Selamat belajar berdiam dalam Allah dan hadirat-Nya dan mengimani bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik dalam hidup kita.


0 komentar:

Posting Komentar