Minggu, 29 Desember 2019

Bahagia Orang yang Dibenarkan




"Baik belum tentu benar, tetapi benar sudah pasti baik", begitulah frasa yang sering kita dengar. Tentu kita dapat mengartikan kata-kata tersebut bahwa " benar" sudah pasti meliputi banyak hal dalamnya salah satunya kebaikan.

Tetapi apakah yang menjadi pokok penting dari sebuah kebenaran?
Sepanjang zaman banyak sekali yang menafsirkan hal ini, dan akhirnya timbul berbagai macam jawaban. 

Ada yang menjawab jika sesuatu tidak logis (tidak bisa diterima akal, maka tidak benar), ada pula yang menjawab kebenaran itu sesuai fakta, jika sesuatu itu ada, maka benar adanya, tetapi jika sesuatu tidak ada, maka benar pula tidak adanya.

Pasca modern, yaitu masa post modern, kebenaran menjadi sebuah hal yang rancu karena kebenaran bergantung pada individu manusia itu sendiri, hal ini lumrah kita dengar dengan sebutan "kebenaran itu relatif".

Menjadi sebuah ironi ketika individu-individu yang mempunyai sebuah standar kebenaran sendiri itu mengikat diri pada sebuah sistem baku yang mempunyai standar kebenaran sendiri pula, yaitu agama. Ragam agama khususnya samawi menyebut kebenaran itu bersumber pada Sang Ilahi yang tidak kelihatan dan yang sering dipertanyakan eksistensinya.

Berbagai agama sepakat bahwa manusia mempunyai masalah dalam menafsirkan kebenaran (walaupun manusia punya sifat-sifat dan karakter Ilahi). Satu masalah laten yang menyebabkan manusia gagal adalah dosa. Dosa bukan hanya menjadikan manusia gagal menafsirkan kebenaran, bahkan lebih lagi menjadikan manusia itu sendiri tidak benar.

Kesadaran bahwa manusia tidak benar karena melakukan dosa, membuat manusia berupaya membangun sebuah sistem untuk mencapai realita kebenaran (Allah) yang dipercayainya melalui agama. Maka tak heran dalam ritus" ibadah tiap-tiap agama selalu terselip doa untuk memohon ampun pada yang Tak Kelihatan, yang menjadi sumber kebenaran itu.

Terlalu banyak sistem (agama) yang dibangun justru membuat manusia menjadi bingung sendiri, dan mulai mempertanyakan kembali iman mana yang benar.
Berbagai pencarian dilalui, dan muncul beberapa pribadi yang diyakini menjadi pendiri dan penerima wahyu Tuhan untuk mendirikan sebuah jalan benar menuju Tuhan itu sendiri.

Menariknya dari beberapa pribadi tersebut, ada satu sosok frontal, menjadi banyak perbincangan bahkan melintasi tiap zaman yaitu Yesus Kristus. Ia menjadi sosok yang diyakini sebagai Inkarnasi Allah itu sendiri, yang berkuasa bahkan untuk mengampuni dosa oleh semua orang Kristen di dunia ini.

Dalam kekristenan, timbul suatu konsep kebenaran bahwa Allah pada mulanya menciptakan semesta, bumi dan segala isinya sesuai dengan rencana indah-Nya. Tapi rencana itu rusak ketika manusia melakukan dosa. Tapi Allah tidaklah Allah yang diam dan memaklumi, justru Ia mengusahakan kembali supaya rencana-Nya terealisasi dengan baik.  

Dengan kesadaran bahwa manusia tidak benar dan tidak akan mampu menjadi benar kecuali mengalami pembenaran oleh Allah itu sendiri, sepanjang zaman nabi-nabi di masa lampau, Ia menjanjikan akan datang penyelamat.

Allah yang kekal itu dalam hening dan diam mengutus Anak-Nya masuk dalam realitas ruang dan waktu, mengambil rupa seorang hamba, bahkan taat sampai mati oleh karena pengorbanan menjadi satu-satunya jalan pembenaran manusia itu sendiri. Ia melakukan semua karena Ia tak dapat membohongi diriNya yang penuh setia dan kasih. 

Ia lah Kristus, manusia ilahi yang benar itu, yang tak berdosa. Dalam kebenaran dan kesucianNya, Ia rela menjadi berdosa demi membenarkan manusia dalam keberdosaannya. Kejijikan-Nya akan dosa tak mampu membendung kasih dan pengampunan-Nya bagi manusia yang mau percaya dan mengakui ketidakbenarannya. Ia yang begitu mulia dibungkus dalam kain lampin di palungan. Ia yang begitu kaya, rela melayani, menjadi miskin bagi orang-orang yang dikasihiNya. Ia kebenaran itu sendiri dan setiap orang yang percaya kepada-Nya, dibenarkan-Nya dalam keberdosaan (Rom. 5:8).

Begitu banyak kesaksian mengenai indahnya menjadi orang yang dibenarkan, tapi saya begitu tertarik dengan kisah Daud dalam Mazmur 32:1-11. Dalam nas tersebut kita bisa merasakan emosi Daud yang begitu berbahagia karena Allah sangat kasih kepadanya. Ia berbahagia ketika dosanya diampuni. 

Daud yang sudah menjadi patah semangat bahkan seakan tulang-tulangnya menjadi kering. Mungkin sampai pada tahap mempertanyakan Tuhan dan kasih setia-Nya (bdk. Maz. 77:8-10). Tapi Daud memberanikan diri mengakui dosa dan Allah tetap berbelas kasih. Pengakuan akan ketidakbenarannya dihadapan Allah membuat jiwanya merasakan suatu hal yang berbeda. Ia sangat bersukacita, ada suatu kebahagiaan yang tak terlukiskan oleh karena pengampunan dari Allah. 

Tentunya kebahagiaan yang Daud rasakan itu bukan kebahagiaan semu, tapi menjadi suatu keyakinan bahwa imannya kepada Allah menjadi iman yang benar. Lebih dari itu, pengampunan dosa yang diterima bukan hanya menjadikan ia dapat menafsirkan kebenaran dengan benar tetapi juga ia mengalami pembenaran dan menjadi manusia benar oleh karenanya.

Hal yang sama saya rasakan 8 tahun lalu, di tengah pergumulan mempertanyakan kebenaran dan eksistensi Allah selama 1,5 tahun. Saya memberanikan diri membaca Alkitab, saya begitu terkoreksi bahwa saya adalah manusia yang tidak benar. Saya begitu sombong ketika meragukan akan adanya Tuhan, dan justru berkata bahwa Tuhan adalah produk dari pikiran manusia. Saya berpikir kehidupan yang saya jalani bisa saya kendalikan sendiri, nyatanya sekeras apapun saya tetap tidak bisa mengendalikan diri saya.
 
Bergulat dalam pikiran ini membuat saya begitu kacau. Singkat cerita,  dalam keheningan saya merenung dan mendapati begitu jahatnya saya dan kehidupan yang saya jalani. Hati saya terdorong untuk berdoa mengakui dosa dalam hening kamar kost. Ketika semua usai ada sebuah kebahagiaan yang tak dapat tergambarkan, sulit menjelaskan tapi begitu bahagia dirasakan, lebih dari perasaan ketika pertama kali jatuh cinta pada seorang perempuan. 

Pengampunan dosa yang saya rasakan lebih dari sekedar menjadikan kita dapat menafsirkan kebenaran secara benar tapi menjadikan kita benar oleh karena kebenaran pengampunan dosa oleh Kristus. Lebih lagi kebahagiaan itu rasakan ketika menyadari bahwa Kristus yang menderita itu merasakan apa yang kita rasakan dan berjanji menyertai kita sepanjang hidup kita. 

Mungkin kita sudah pernah merasakannya, atau saat ini sedang merasakan bagaimana sangat tertekan karena dosa kita. Datanglah pada Allah, Ia akan mendengar doa kita dan mengampuni kita seperti janji-Nya:   "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." {1 Yohanes 1:9 (TB)}
Ini adalah janji yang manis untuk kita. Itulah kebahagiaan orang yang dibenarkan, ketika Kristus, Allah menjadi berdosa supaya dosa kita diampuni oleh Bapa.

*Jesus, thou joy of loving hearts, Thou fount of life, thou Light of men, From the best bliss that earth imparts We turn unfilled to Thee again. We taste Thee, O Thou living Bread, And long to feast upon Thee still: We drink of Thee, the Fountainhead, And thirst our souls from Thee to fill. O Jesus, ever with us stay, Make all our moments calm and bright; Chase the dark night of sin away, Shed o'er the world Thy holy light.*
(St. Bernard from Clairvaux)

0 komentar:

Posting Komentar