
Esoknya ia pulang ke
rumahnya, dengan berbekal seadanya, ia hanya ingin melihat adiknya untuk
terakhir kalinya sebelum peti ditutup. Ia berangkat pukul 12.00 WIB dan sampai
pukul 14.30 WIB, di luar sudah ada Toni yang menjemputnya. Toni adalah abang
dari Bob, bukan abang kandung, melainkan abang karena ayah mereka bersaudara
walaupun tidak sedarah, tetapi hubungan mereka sudah bisa dikatakan sebagai
keluarga sedarah. Selama ini hanya Toni lah teman satu angkatan Bob, dan setiap
Bob pulang ke rumah dari perantauan panjang, Toni selalu setia menemani Bob
untu menikmati indahnya kota megapolitan (khususnya malam hari). “Ayok Bob,
sini gua angkat tas lu” ujar Toni dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka menuju
parkiran motor dan langsung berangkat menuju rumah duka di samping gereja.
Seketika sampai, semua langsung menyambut Bob dengan isak tangis. Bob hanya
dia, setetes air mata pun tidak jatuh membasahi pipinya, ia menyantuh muka
adiknya untuk terakhir kalinya, sambil memeluk ibunya yang menangis
tersedu-sedu melihat kedatangannya.
“Lihat adikmu ini,
mang (sebutan khas orang batak)” sambil menangis ibunya berkata. “iya ma,
jangan nangis mama, adik sudah tenang bersama Tuhan” Bob berkata sambil
menguatkan dirinya sendiri. Waktu terus berjalan dan peti pun ditutup, semua
berangkat menuju tempat pemakaman. Sesampainya disana, semua orang bergegas
menuju tanah yang sudah digali yang siap menerima kedatangan tubuh yang
terbujur kaku, disanalah ia akan dimakamkan. Nyayian puji-pujian dilantukan,
renungan dibacakan, isak tangis terus menghiasi hari itu, terkecuali dengan apa
yang dialami Bob, setetes air mata belum keluar dari matanya. Peti sudah
dimasukkan dan tanah sudah menutupnya, tetapi air mata sebagian orang tetap
mengucur deras. Akhirnya semua pulang ke rumah masing-masing, Toni terus
memerhatikan Bob. “Lu kenapa Bob, gue serem liat lu, gak ada nangis daritadi”
Toni nyeletuk. Bob hanya tersenyum kecut, ia berujar dalam hati “kau tidak
merasakannya”. Sebagian orang menemani keluarga Bob di rumahnya hingga larut
malam sambil bercerita tentang kebaikan adiknya dan rasa heran orang-orang
disekitarnya atas kepergian adiknya yang terlalu cepat. Hari itu dilewati
dengan suasana kabung.
Keesokan harinya,
masih diwarnai dengan suasana yang sama. Ayah yang menangis ketika melihat foto
anaknya yang sudah tiada, ibu yang menangis ketika mengumpulkan baju-baju
anaknya yang akan diserahkan kepada teman-teman sepermainan Ferdi. Ya, nama
adiknya Bob itu adalah Ferdi. Bob hanya mengerjakan tugasnya sebagai anak
tertua, ia menghibur keluarganya di tengah-tengah suasana hatinya yang butuh
dihiburkan juga. Hari demi hari kesedihan pun berkurang dengan keyakinan bahwa
Ferdi telah senang berada di pangkuan Bapa di sorga. Mereka hanya mengingat dan
belajar mengaminkan firman Tuhan bahwa Yesus menerima anak-anak di dalam
Kerajaan Sorga. Meskipun kesedihan sudah berkurang, tetapi tidak bagi Bob, ia
merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang bercampur-aduk kesedihan,
kekosongan, keraguan, kehilangan harapan. Semuanya itu dialaminya.
Tiba waktunya Bob
harus kembali ke tempat kuliahnya. Keluarganya mengantarkan sampai Bandara.
“Lanjutkan cita-cita adikmu ya mang” Sang Ayah berpesan dengan mata yang
berkaca-kaca. “Iya, Pak” jawab Bob. Keberangkatan Bob kembali ke tempat
kuliahnya diiring dengan rasa pilu. Bob adalah mahasiswa semester akhir di
salah satu universitas di pulau Sumatera. Sesampainya di bandara di daerah ia
melanjutkan studinya. Ia pun bergegas ke tempat kostnya dan memberi kabar
kepada keluarga bahwa ia telah sampai dengan selamat. Keesokan harinya ia ke
kampus sambil membawa skripsi dan bertemu dosen untuk meminta persetujuan
siding meja hijau. Dua minggu kemudian siding meja hijau dilaksanakan. Seperti
biasa, ia memulai pagi dengan membaca alkitab dan berdoa diiringi permohonan
bahwa Tuhan akan menyertainya pada saat sidang meja hijau belangsung. Benar
saja, Bob melewati sidang meja hijau tersebut dengan baik dan dinyatakan lulus
dan meraih gelar sarjana. Tak lupa ia mengucap syukur kepada Tuhan dan memberi
kabar kepada orang tuanya. Ia merasakan sukacita disertai rasa hampa seakan
semangat telah memudar.
Hari demi hari dan
bulan demi bulan ia lalui dengan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya seakan
hilang harapan, kekosongan, keraguan, kesedihan yang terus menemaninya sampai
senyum seakan hilang dari wajahnya. Bahkan sampai kepada momen wisuda pun, ia
masih tetap diselimuti perasaan demikian. Ia terus membaca alkitab dan berdoa,
ikut persekutuan dan kelompok tumbuh bersama, tetapi tetap saja ia tak kuasa
menahan perasaan itu yang membuat dirinya pun terbawa larut dalam perasaan
tersebut. Ia seperti orang yang kebingungan seakan-akan tiada jalan lagi
baginya untuk merasakan indahnya hadirat Tuhan. Ia merasakan Tuhan tidak ada
disampingnya.
Hingga suatu waktu
ia ikut dalam ibadah persekutuan alumni, sekaligus merayakan hari ulang tahun
persekutuan tersebut. Ya, sebenarnya momen tersebut sangat ia hindari, tetapi
apa daya, ia seakan tidak bisa menghindari acara tersebut. “ehh jadi ikut
abang?” tanya Dani yang adalah juniornya di kampus. “iya nih, gak bisa ngelak
aku” jawab Bob diiring tawa. Tibalah di tempat ibadah tersebut. Seperti biasa,
ibadah dimulai dengan nyanyian puji-pujian dan khotbah yang dibawakan oleh
Pembicara. Satu hari itu adalah momen berbeda dari ibadah biasanya, karena
setelah ibadah masih ada acara lainnya (diskusi dan puncak perayaan serta
refleksi). Semua berjalan dengan baik, tibalah di penghujung acara, yaitu momen
refleksi untuk merenungkan apa yang telah dirasakan dan didapat satu hari
tersebut. Bob berpikir bahwa momen ini akan terjadi seperti biasanya menulis di
lembaran kertas dan berdoa. Dan sesuai dengan pemikiran Bob, demikianlah
terlaksana.
Tetapi ada berbeda
dirasakan oleh Bob, sepanjang setengah jam mereka diajak oleh Pembicara untuk
merenungkan dan berdoa, hanya satu ayat alkitab yang diucapkan oleh pembicara
tersebut. Dan kata-kata yang berasal dari ayat alkitab tersebutlah yang menjadi
titik balik dari apa yang dirasakan Bob. “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama
orang kudus dapat memahami, betapa panjangnya dan lebarnya dan tingginya dan
dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui
segala pengetahuan. Aku berdoa supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan
Allah.” (Ef. 3:18-19). Dan ayat tersebutlah yang menjadi doanya setiap hari.
Semakin hari ia mengalami ketenangan dan sukacita telah kembali.
Semua perasaan yang
dialaminya (kehampaan, kesedihan, hilang semangat dan sukacita), yang
membawanya seakan hilang harapan tersebut telah sirna. Ia kini mendapat harapan
baru untuk menikmati Tuhan, harapan baru untuk hidup berbahagia di dalam Allah,
harapan baru menjalankan panggilannya di masa depan bersama Allah. Terlebih ia
belajar satu hal penting bahwa serumit apapun yang ia alami, bahkan kekosongan
sekalipun akan hadirat Allah yang ia rasakan, pengharapan masih ada. Tangan
Tuhan tetap terulur untuk menolong ia yang jatuh terlalu dalam dan memberikan
secercah harapan yang gemilang bersama Tuhan. Ia tidak menampik bahwa beban dan
cobaan terus akan datang, tetapi ia percaya bahwa pengharapan masih ada
diiringi iman dan anugerah dari Allah. ~End~
~Hanya pada Allah saja aku tenang, sebab dari
pada-Nyalah harapanku.~
(Mazmur 62:6)
0 komentar:
Posting Komentar